PP Kagama bersinergi dengan K-GAMA Health, kembali menggelar webinar serial Kagama Health Talks melalui Zoom Meeting, Jumat (9/12/2022). Pada seri ke-14 kali ini mengambil judul “Digitalisasi Rumah Sakit: Siapkah Rumah Sakit Indonesia Investasi Teknologi Informasi Pelayanan Kesehatan?”, menghadirkan 3 narasumber, yaitu Dr. dr. Cahyono Hadi, SP.OG(K) (Direktur RSUD Moewardi Surakarta), Anis Fuad, S.Ked., DEA (Akademisi IKM FK-KMK UGM), dan dr. Martha ML Siahaan, M.H.Kes., MARS (CEO RS Premier Bintaro). Ketua Umum PP Kagama, Ganjar Pranowo berkenan memberikan pidato kunci. Jalannya acara dipandu oleh dr. Arifatul Khorida, MPH, FISQua sebagai MC, dan dr. Maria Silvia Merry M.Sc., SpMK selaku moderator.
Narasumber pertama, dr. Cahyono Hadi memaparkan tentang tantangan dan kesiapan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dalam pengembangan teknologi informasi layanan rumah sakit. Ia mengatakan dunia selalu mengalami perubahan, yang mana kehidupan dipermudah dengan akses informasi yang mudah melalui internet dan gadget.
Di dunia kesehatan adalah salah satu sektor yang mengalami pergeseran. Generasi millenial menginginkan pelayanan kesehatan yang mudah diakses, murah, cepat dan terpercaya.
Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah mengantri pendaftaran, menunggu dokter, mencari kamar rawat, menebus obat, bukanlah pilihan menarik untuk generasi yang menginginkan serba cepat. Pertanyaannya, apakah rumah sakit siap menerima tantangan itu?
“Sekarang adalah waktunya melakukan transformasi pelayanan RSUD,” ujar Cahyono.
Ia menyatakan, pandemi menyadarkan betapa pentingnya permasalahan sistemik yang harus diperbaiki. Peningkatan kapasitas dan resiliensi pelayanan RS harus dilakukan.
Sistem kesehatan RSUD harus siap untuk bertransformasi. Teknologi digital tersedia luas dan publik lebih terbuka akan perubahan. Dengan adanya pandemi mendorong percepatan implementasi transformasi digital untuk segera dilakukan.
Kemudian perlu adanya kolaborasi menuju smart hospital. Karena smart hospital tidak bisa ditangani sendiri oleh RS, sehingga perlu kerja sama dengan seluruh pelaku industri kesehatan. RSD harus membangun platform untuk menghubungkan berbagai data dan sistem di ekosistem kesehatan dalam satu kesatuan.
Cahyono melanjutkan, untuk semakin mendukung RS dalam pelayanan kepada masyarakat, pemerintah telah mengeluarkan beberapa regulasi terkait Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS). Di antaranya yaitu UU No. 4/2009 tentang RS, Permenkes No 1171/2011 tentang SIRS, Permenkes No. 82/2013 tentang standar SIMRS, PP No. 46/2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan, dan Permenkes No. 24/2022 yang mengatur setiap fasilitas pelayanan kesehatan wajib menyelenggarakan rekam media elektronik.
Peran pemerintah daerah dalam hal digitalisasi RSUD adalah meningkatkan layanan internet dan penyelenggaraan sistem jaringan intranet pemda, pendampingan teknis proses digitalisasi layanan RSUD, penyediaan data bandwitch, serta pengembangan infrastruktur jaringan lewat pengelolaan pusat data untuk hosting serta colocation.
“Slogan digital is smart adalah kurang tepat,” ucap Cahyono mengingatkan.
Digitalisasi hanyalah awal dari smart system, bukan pencapaian akhir. Karena saat sebuah RS menginginkan menjadi “smart hospital”, maka tidak hanya inftastruktur yang terdigitalisasi, namun SDMnya juga harus terlatih. Sehingga SDM harus smart dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi.
Di era penerapan smart hospital, saat ini RS dan layanan kesehatan menghadapi sejumlah masalah dan tantangan, yaitu minat RS kurang untuk investasi di bidang digital, integrasi data skala nasional sulit, kultur organisasi serta birokrasi masih tradisional, belum ada kejelasan hukum perlindungan data pribadi, dan teknologi outdated serta kurang terintegrasi.
Cahyono membayangkan, ke depannya dalam konsep smart hospital, seluruh pelayanan akan terintegrasi dan seluruh bagian RS akan terkoneksi. Semua dapat mengambil dan menulis data dari dan ke ruang server, sesuai dengan hak masing-masing.
“Kita harus melakukan integrasi data di RS. Fondasi utamanya adalah Hospital Information System yang datanya dapat dimanfaatkan mulai dari pelayanan rawat inap & rawat jalan, pelayanan penunjang, laporan laboratorium, laporan farmasi, data kepegawaian & kepelatihan, data keuangan, informasi publik, hingga sistem mutu serta akreditasi,” pungkas Cahyono.
Narasumber kedua, Anis Fuad menjelaskan kebutuhan digitalisasi rumah sakit dari sudut pandang pasien. Menurutnya, perkembangan digitalisasi sudah semakin luar biasa dan pemerintah juga sudah menyiapkan regulasinya seperti Permenkes No. 24/2022 yang mengatur setiap fasilitas pelayanan kesehatan wajib punya rekam media elektronik.
Anis mengatakan yang dikhawatirkan pasien saat berkunjung ke rumah sakit, umumnya adalah bagaimana pelayanannnya, pembayarannya, dan perawatannya. Pasien yang datang ke sebuah rumah sakit sangat bervariasi, dan perilakunya di masing-masing wilayah pasti berbeda. Sehingga nanti ketika mengembangkan digitalisasi perlu disesuaikan dengan karakteristik pasien.
Sistem digital yang diperlukan oleh pasien meliputi janjian kunjungan, peta virtual untuk memudahkan, panduan kunjungan, informasi layanan & biaya, informasi / edukasi kepada pasien, dan konsultasi jarak jauh. Rumah sakit harus memiliki sistem digital yang mudah digunakan, menyediakan help desk yang memadai, terjangkau biayanya atau kalau perlu gratis, akan lebih baik kalau sistemnya inklusif, berkualitas baik, dan harus ada sosialisasi serta edukasi kepada pasien / keluarga.
“Ternyata aplikasi atau inovasi digital rumah sakit kita masih banyak yang belum optimal,” ujar Anis.
Di akhir pamaparan Anis menyimpulkan, di era digital ini RS semakin dituntut untuk menyediakan layanan digital kepada pasien. Karakteristik pasien dapat membutuhkan solusi digital yang berbeda. Kuncinya, memahami kebutuhan pasien yang kemudian diikuti dengan pengembangan inovasi digital di RS.
“Di jaman serba cepat seperti saat ini, tiada lain pilihannya adalah digital atau ditinggal!” tegas Anis mengakhiri presentasinya.
Narasumber terakhir, dr. Martha ML Siahaan membawakan materi berjudul “The Future Healthcare is Now”. Menurutnyan, perusahaan startup di Indonesia tumbuh lumayan pesat, termasuk di bidang pelayanan kesehatan, seperti Halodoc dan Alodokter. Kita tidak bisa memungkiri fakta bagaimana masyarakat lebih nyaman menggunakan pelayanan kesehatan dengan tidak memanfaatkan rumah sakit, tapi layanan startup.
Yang menjadi pertanyaan bagaimana RS di negara kita menyikapi fenomena yang terjadi. Martha sering mengatakan kepada timnya di RS Premiere Bintaro bahwa kompetitor bukanlah sesama RS saja, namun juga perusahaan startup kesehatan.
Martha melanjutkan, tantangan RS di masa depan adalah yang pertama tentu saja SDM kita mampu menyikapi perubahan teknologi atau tidak, teknologi, dan pembiayaannya. Tantangan lainnya, yaitu generasi muda cenderung lebih memilih pelayanan yang sifatnya online.
“Rumah sakit tanpa dinding atau hospital without hall menjadi kenyataan yang harus kita terima,” ujar Martha.
Lalu bagaimana transformasi perkembangan RS? Martha menjelaskan RS zaman dahulu segala sesuatu serba manual, RS zaman sekarang teknologi mulai mendominasi, dan RS masa depan menggunakan kecerdasan buatan dengan teknologi robot.
Yang diharapkan masyarakat terhadap pelayanan RS adalah pelayanan yang baik dan bermutu, pelayanan cepat, biaya murah, dan mendapatkan pengalaman berobat yang menyenangkan.
“Dulu kita membicarakan kepuasan pasien, tapi kalau sekarang patience experience atau pengalaman pasien,” kata Martha.
Di zaman serba digital ini, seorang pasien bisa menuliskan pengalamannya di internet. Pengalaman pasien bisa menjadi pisau bermata dua. Apabila pengalamannya baik, tentulah akan menuliskan yang baik-baik. Namun jika sebaliknya, tidak mustahil brand kita bisa hancur dalam sekejap.
“Mengapa kita harus berubah? Dinosaurus punah karena tidak bisa berubah, sementara kecoak bisa bertahan sampai sekarang karena bisa beradaptasi terhadap perubahan zaman,” pungkas Martha.
*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: