Oleh : Wibie Maharddhika Suryometaram
ALHAMDULILLAH, puji syukur ke Hadirat ALLAH SWT, TUHAN YME, karena atas berkat rahmat kuasa-NYA akhirnya kami bisa melaksanakan gelar perdana BEKSAN BAPANG WANARA MERAH PUTIH bertepatan songsong HARI IBU, Sabtu Kliwon, 21 Desember 2019 di Taman Arca Ken Dedes, Arjosari, Malang. Masya ALLAH laquwwata illabillah. Sungguh kami rasakan petunjuk dan pertolongan TUHAN selama proses persiapannya yang cukup singkat kurang dari satu bulan.
Saya menggagas dan mengkoreografi karya ini setelah lebih menyelami dinamika seni tari di Malang Raya. Setelah viral BEKSAN WANARA oleh para abdi dalem milenial Kraton Yogyakarta, saya sebagai cucu buyut pencipta ragam tari Wanara, yakni Eyang KRT. PURBANINGRAT Maestro seni budaya Kraton era SULTAN HAMENGKU BUWONO VII-IX terpanggil untuk melakukan kolaborasi antara Tari BAPANG Khas Malang Raya (tempat domisili saya selama 2 tahun terakhir) dengan Tari WANARA khas Yogyakarta.
Mewujudkan kreasi tersebut bukannya tanpa tantangan dan dinamika. Respon komunitas seni budaya di Malang Raya cukup kuat dan beragam bentuknya. Saya semakin bersyukur bersemangat menyambut energi gairah gerak masyarakat dunia seni, khususnya tari di bumi Ken Angrok yang luar biasa dinamis.
Saya bersama istri, Diajeng, yang asli Wendit Malang, senantiasa bahu membahu untuk mewujudkan mimpi kolaborasi tersebut. Terbaca dalam pikiran dan hati saya bahwa BAPANG yang berwarna MERAH melambangkan sifat keberanian dan WANARA (Hanoman) yang berwarna PUTIH melambangkan sifat kesucian.
Kepada beberapa seniman di Malang saya terus mengajak bertukar pikiran bahwa paduan ini akan memberikan pesan moral bahwa generasi kita harus mampu menjaga keunikan atau orisinalitas jatidiri, sekaligus mampu beradaptasi dan mengharmonikan dengan keunikan lain dalam kehidupan. Sebagaimana Bendera bangsa Sang Dwi Warna. Merah tetaplah Merah, dan Putih tetaplah Putih. Keduanya dirajut dalam kesatuan kain serta berkibar di angkasa raya mengukuhkan tanah air bersama. Filosofi di muka saya syiarkan senantiasa sambil terus mengkreasi gerak Wanara (sesuatu yang saya kuasai) dengan alunan gendhing Bapang, sekaligus berupaya menemukan partner dari seniman tari Bapang itu sendiri untuk berkenan mendisain gerak Bapang dalam alunan gendhing Wanara.
Adalah pakar sejarah dan arkeolog terkemuka Malang, yakni Bapak Dwi Cahyono dan pengasuh Kampung Budaya Poliwijen, yakni Ki Demang Isa, yang menangkap maksud saya itu. Kami pun gerak cepat mencari momentum untuk melaksanakan gelar perdana tarian yang saya beri nama BEKSAN BAPANG WANARA MERAH PUTIH tersebut. Pilihan jatuh pada usulan saya untuk digelar dalam rangka memperingati HARI IBU 22 Desember 2019. Saya memaknai IBU dalam pengertian IBU KANDUNG kita sebagai GUSTI KANG KATON, sekaligus IBU dalam konteks IBU PERTIWI bagi bangsa Indonesia.
Saat saya memaknai pula bahwa Sang Nareswari masyhur KEN DEDES sebagai manifestasi IBU PERTIWI (dikarenakan dari rahim beliau lah terlahir para Raja tanah Jawa), saat itu pula Kangmas Bagawan Dwi Cahyono mengusulkan agar pagelaran itu dilaksanakan di area Taman Arca Ken Dedes yang terletak di Arjosari, Malang.
Bersyukur lalu saya dipertemukan dengan pelatih tari handal Kampung Budaya Polowijen, yakni Ibu Indar Chikam yang berkenan bekerjasama mengkoreografi tari tersebut dalam proses latihan. Saya bersama Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) pegiat Beksan di Malang Raya pun bersemangat gladhi bareng dengan generasi milenial Kampung Budaya Polowijen. Sungguh waktu yang sangat singkat, hanya dalam tempo tiga kali berlatih saja.
Didukung oleh lembaga budaya saya dan istri, yakni KUSWALALITA JALASENA (terimakasih Mas Dhamar Sasangka yang menginspirasi nama lembaga budaya kami), juga suppot luar biasa dari KAGAMA MALANG RAYA dan WADYABALA WALANDIT, akhirnya pagelaran seni BEKSAN BAPANG WANARA MERAH PUTIH berhasil terlaksana dengan drama penuh berkah keajaiban.
Bagaimana tidak? Misalnya saja bahwa dikarenakan disadari bahwa saat ini musim penghujan, maka saat Beksan berlangsung tiba-tiba rintik-rintik hujan mengiringi. Di tengah durasi tarian, hujan sedikit bertambah deras walau tak mengganggu jalannya penampilan. Dan di pertengahan hingga akhir, saat adegan para Bapang dan Wanara berbalik menghadap Patung Arca KEN DEDES Sang Wujud IBU PERTIWI guna melakukan sembah sungkem hormat, tiba-tiba cuaca terang. Tergetarlah hati sebagian besar dari kami para penari dan penonton di tengah benderang langit dan kepulan asap dupa yang menjulang mengiringi Beksan.
Kami semua tak mampu menahan rasa syukur haru bangga. Sebagian dari penari dan penonton pun menitikkan air mata. Suasana sakral tercipta secara alami. Dan saya pun semakin meyakini bahwa bentuk-bentuk kolaborasi seni semacam ini Dirahmati, Diberkahi dan Diridhoi Sang PENCIPTA, sekaligus sangat penting guna mengatasi sekat-sekat pikiran hati antar manusia yang seringkali terpisah jarak oleh kepentingan-kepentingan sesaat.
Saya meyakini bahwa sifat MANUNGGAL MERAH PUTIH adalah jawaban bagi duka lara IBU PERTIWI yang masih terjajah oleh sifat ketamakan dan angkara murka anak-anaknya hingga kini. Saat ini kita seringkali kehilangan sifat BERANI UNTUK SUCI dan SUCI DALAM BERANI. Tidak cukup hanya BERANI dan tidak cukup hanya SUCI. Dan BEKSAN BAPANG WANARA MERAH PUTIH adalah ekspresi seni budaya leluhur yang menguatkan getaran sifat-sifat kebaikan tersebut kepada diri dan generasi, guna mengendalikan sifat-sifat hewan serta raksasa yang ada.
BEKSAN BAPANG WANARA MERAH PUTIH adalah doa tulus dan perjuangan cinta kasih sayang dalam wiraga, wirama dan wirasa untuk bakti kepada TUHAN serta kepada IBU PERTIWI.
Salam Hambegsa
Salam Budaya
Salam Hamemayu Hayuning Bawana
Walandit, Malang Raya, Ahad Legi 22 Desember 2019
Leave a Reply