How to Lie with Statistics

Oleh: Donnie Ahmad

“How to Lie with Statistics” adalah sebuah judul buku. Saya membaca buku itu di tahun kedua kuliah di Kedokteran, saat mengambil mata kuliah biostatistik. Sebuah mata kuliah yang tidak terlalu saya suka, dan seingat saya, nilai ujian mata kuliah yang dapatkan hanyalah C semata.

Maka ketika pertama kali membaca judul buku tersebut, saya jadi tidak tertarik. Namun, arus waktu ternyata membawa saya dan kerja-kerja profesional saya tidak berjauhan dengan statistik. Meskipun yang saya pahami pun masih dalam kategori statistik kelas abangan.

Pandemi Covid 19 membuat saya tersadar, bahwa memang benar statistik bisa membantu kita untuk berbohong. Minimal untuk membohongi diri sendiri.

Di tengah kekhawatiran banyak orang (yang kadang berlebihan) terhadap situasi saat ini di India, saya banyak mendapat pertanyaan dari wartawan maupun teman dan kolega. Apakah Indonesia bisa mengalami hal yang sama? Apalagi setelah Menteri Kesehatan mengumumkan bahwa varian SarsCov 2 dari India, telah ditemukan di Indonesia. Apa yang harus kita dilakukan untuk mencegahnya?

Untuk semua pertanyaan tersebut, saya menjawab, bahwa kita harus lebih konsisten untuk melakukan 5M. Karena biarpun ada mutasi yang menyebabkan virus SarsCov 2 menjadi lebih menular dan lebih ganas, selama rute penularannya masih sama, maka cara pencegahannya masih akan tetap sama.

Yang menarik, ada juga individu-individu yang tetap menganggap bahwa apa yang terjadi di India, hanyalah sebuah upaya media untuk menebarkan ketakutan. Konspirasi para scaremonger kata mereka. Dan klaim mereka tentu saja didukung oleh ‘bukti’ dari sumber-sumber yang terpecaya, misalnya situs Worldometer yang merupakan salah satu sumber utama statistik Covid 19, maupun laporan dari lembaga kesehatan terpecaya.

Dan di sinilah kita berhadapan dengan teknik disinformasi dengan menggunakan statistik. Saya ingin menunjukkan 2 disinformasi statistik yang diklaim menjadi bukti bahwa saat ini tidak ada krisis Covid 19 di India.

Mereka menuduh bahwa informasi meningkatnya jumlah kasus dan kematian akibat Covid 19 di India hanyalah upaya para scaremonger untuk menakut-nakuti masyarakat di Indonesia. Mereka tetap kukuh dengan klaim awal mereka sejak awal pandemi bahwa Covid 19 merupakan penyakit ringan yang tidak mematikan. Meskipun secara global, sudah ada 3,2 juta orang meninggal karena Covid dalam waktu 1,5 tahun saja.

1. Angka kematian

Dari situs Worldometer mereka mensitasi bahwa angka kematian (case fatality rate) Covid 19 di India, hanyalah 1% saja. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan angka kematian di Indonesia sebesar 2.7%. Sebuah perbandingan statistik yang sangat valid untuk membandingkan negara.

Tetapi disinilah statistik bisa membantu kita berbohong. Mengapa? karena angka kematian itu bisa menjadi indikator baik buruknya sistem kesehatan menangani kasus Covid 19.

Yang pasti sistem kesehatan kita masih kalah bagus dibandingkan dengan sistem kesehatan di India. Hal ini karena industri kesehatan India dari hulu ke hilir yang lebih maju. Sebuah fakta yang tidak perlu kita sangkal. Industri obat, vaksin, alat-alat kesehatan maupun ketersediaan SDM yang mumpuni menjadi backbone kesiapan penanganan kasus-kasus klinis di India.

Yang tidak kemudian tidak disampaikan adalah, dari sumber yang sama (Worldometer) ada informasi bahwa:

  • Ada peningkatan jumlah kasus hampir 47 kali lipat (8.587 kasus tanggal 1 Februari 20221 menjadi 402.110 pada tanggal 30 April 2021) dalam waktu 3 bulan.
  • Ada peningkatan kematian yang luar biasa tinggi sebesar 40 kali lipat (94 kematian menjadi 3.786 pada periode yang sama).
  • Di Indonesia peristiwa serupa saat ini tidak terjadi.

Sebagai referensi, sebuah kejadian luar biasa itu secara epidemiologis dapat disimpulkan salah satunya ketika ada peningkatan jumlah kasus 2 atau 3 kali lipat dibandingkan sebelumnya. Jadi ketika terjadi peningkatan kasus mencapai 40 kali lipat tentu saja kejadian itu tidak hanya kejadian luar biasa, tetapi sangat luar biasa sekali.

Oleh karena itu, membandingkan angka kematian untuk menunjukkan perburukan situasi karena peningkatan kasus jelas jelas penggunaan statistik yang misleading.

2. Jumlah Kematian

Argumentasi berikutnya adalah, jumlah kematian akibat Covid 19 yang masih lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kematian balita karena diare/pneumonia pertahun di India (220 ribu vs 260 ribu). Angka tersebut diambil dari sebuah media online (https://bit.ly/3h4WWBU).

Hanya saja, angka 260 ribu tersebut, sebenarnya menampilkan beban kasus 2 penyakit sekaligus. Yang tidak disebutkan adalah, situs berita tersebut juga memberitakan informasi besar kematian karena diare dan pneumonia. Angka kasus kematian akibat diare di tahun tersebut (2016) tercatat sebesar 102 ribu, sementara kematian akibat pneumonia sebesar 158 ribu.

Apabila kita ingin membandingkan Covid 19, tentu saja sebanding dengan kasus kematian karena pneumonia. Karena manifestasi klinis utama dari Covid 19 adalah pneumonia.

Catatan dari Worldometer menunjukkan bahwa jumlah kasus Covid dalam satu tahun (15 Februari 2020 – 14 Februari 2021) di India sebesar 155 ribu. Memang masih lebih sedikit sih, tapi tetaplah komparabel. Kalau dirata-ratakan ada 425 kematian per hari.

Catatan Worldometer juga menunjukkan bahwa dalam periode15 Februari – 30 April 2021, tercatat ada 71 ribu kematian akibat Covid 19, atau rata-rata sekitar 750 kematian per hari. Sebuah peningkatan kematian yang signifikan. hampir 2 kali dibandingkan rata-rata kematian harian akibat pneumonia pada balita.

Tapi angka-angka tersebut tidak dimunculkan. Karena ada pameo, “the devil is in the detail“. Dan setan inilah yang membuat statistik gampang digunakan untuk berbohong.

Statistik dan Pemaknaan

Statistik adalah ilmu tentang pemaknaan. Pemaknaan dalam statistik dibuat ketika kita membandingkan sebuah data dengan data yang lain.

Kalau ingin membuat perumpamaan tentang beban kematian akibat Covid 19, mungkin menggunakan perumpamaan korban tewas akibat pesawat jatuh akan jauh lebih relevan. Bayangkan apabila sebuah pesawat Airbus A380 jatuh. Airbus A380 adalah pesawat terbesar saat ini. Pesawat ini mampu membawa 555 penumpang dalam tiga kelas.

Ketika sebuah Airbus A380 jatuh dan menewaskan seluruh penumpangnya, berita tersebut akan menjadi breaking news dan menyebabkan distress bagi masyarakat. Kematian seluruh penumpang A380 akan dianggap sebagai bencana yang katastrofik.

Bayangkan bahwa rata-rata ada 1 pesawat Airbus 380 jatuh setiap harinya. Kalau melihat data kematian di Worldometer:

  • Jumlah kematian akibat Covid 19 sejak tanggal 6 April setara dengan kematian seluruh penumpang pesawat Airbus. Jumlah kematian tesebut semakin meningkat setiap harinya.
  • 15 April ada 2 pesawat A380 yang jatuh.
  • 18 April menjadi 3 pesawat
  • 22 April menjadi 4 pesawat
  • 25 April meningkat menjadi 5 pesawat
  • 28 April menjadi 6 pesawat

Mengetahui bahwa setiap hari ada 2 atau lebih pesawat A380 jatuh di sebuah negara, apalagi ketika seluruh penumpangnya meninggal, tentu merupakan bencana yang luar biasa. Dan perbandingan tersebut memberikan gambaran seberapa seriusnya situasi Covid 19 di India.

Bandingkan dengan memberitakan bahwa angka kematian akibat Covid 19 di India hanyalah 1% saja. Apalagi jika angka kematian tersebut dibandingkan dengan angka kematian di Indonesia sebesar 2,7%.

Kedua informasi tersebut valid secara statistik. Secara kategorikal, menyebutkan bahwa angka kematian Covid 19 di India jauh lebih rendah dari Indonesia juga tidak bisa dikatakan sebuah kebohongan. Tetapi informasi yang ditampilkan secara berbeda memberikan pemaknaan yang sangat jauh berbeda.

Dan orang bisa secara sadar memilih untuk menampilkan informasi tertentu. Tentu saja hal tersebut bisa saja dilakukan untuk memberikan pemaknaan yang mendukung klaimnya.

Pertanyaannya kemudian, apakah ribuan kematian yang sedang terjadi di India saat ini hanyalah bermakna sebagai angka statistik saja? Ataukah kematian ribuan orang tersebut bermakna sebagai bencana kemanusiaan?

Ada sebuah cerita kehidupan yang hilang di balik setiap angka statistik kematian tersebut. Termasuk kesedihan ribuan keluarga yang kehilangan orang-orang yang mereka cintai, kehilangan para pencari kehidupan mereka, kehilangan atas perlindungan kasih sayang orang tua yang meninggal.

Kecuali memang kita sudah kehilangan nurani, hanya untuk menjustifikasi klaim yang kukuh ingin kita pertahankan.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*