PP Kagama bersama Kagama Care dan Kagama Canthelan kembali menggelar webinar Canthelan Show pada hari Minggu (11/7/2021). Pada seri 10 kali ini menghadirkan tiga narasumber yaitu Lejaryono, Retno Narwati, dan Puranti Wiji Rahayu. Pidato pembukaan disampaikan oleh Anak Agung Gede Putra, Ketua Bidang VI PP Kagama. Jalannya acara dipandu oleh Ardiati Bima dan Ekan NS.
Narasumber pertama, Lejaryono mengatakan canthelan adalah sarana berbagi kita kepada sesama walaupun sedikit. Ia mengadakan canthelan karena kegundahannya melihat warga kampungnya di Dusun Mangir Tengah, Sendangsari, Pajangan, Bantul banyak yang kehilangan pekerjaan karena pandemi.
Di tengah kegalauannya ia mendadak teringat temannya bernama Ardiati Bima (Faperta ’86) yang merupakan pelopor gerakan canthelan. Ia mengutarakan pikirannya kepada Ardiati bahwa ia ingin juga membikin canthelan di rumahnya namun masih ragu. Oleh Ardiati kemudian Lejaryono dihubungkan dengan Kagama Care. Akhirnya Lejaryono mendapatkan dana stimulasi dari Kagama Care yang mana hal itu semakin memantapkan niatnya untuk memulai aksi canthelan. Tentu saja dengan harapan dapat memenuhi pangan tetangga dan lingkungan sekitarnya, serta lebih jauh lagi bisa membuat situasi menjadi semakin kondusif.
Awalnya banyak juga suara sumbang yang tidak setuju, dengan alasan memberikan sesuatu kok dicanthelkan. Lejaryono mengakui bahwa kesadaran dan kepedulian berbagi warga kampungnya masih minim, sehingga canthelan dianggap aneh.
Namun lama-lama warga mulai bisa menerima. Bantuan mulai berdatangan dari warga sekitar. Bukan hanya dari kalangan yang mampu saja, namun ada pula seorang warga yang sudah simbah-simbah yang secara ekonomi kurang mampu, justru menyumbang untuk canthelan dari hasil penjualan pisang hasil panennya. Ada pula donatur misterius yang sengaja mencanthelkan pada pagi buta selepas subuh, tidak ketahuan siapa orangnya. Lejaryono menyebutnya orang tersebut berprinsip ‘membantu dengan tangan kanan, namun tangan kiri tidak boleh tahu’.
Lejaryono merasa senang bisa sedikit membantu warga di kampungnya. Namun ia juga berpikir pastilah canthelan di daerahnya tidak akan bisa berlangsung selamanya. Memikirkan hal itu pria yang bekerja sebagai tenaga pengajar di SD Sendangsari tersebut mempunyai ide mengkombinasikan canthelan dengan mengajarkan warga bercocok tanam sayur mayur yang cepat menghasilkan seperti kangkung, loncang, sawi, sledri, dll. Intinya adalah memanfaatkan lahan atau pekarangan masing-masing yang belum tergarap, dengan tujuan utamanya menuju kepada kemandirian atau kedaulatan pangan di kampungnya
Jadi hasil panennya bisa ikut menjaga kelangsungan hidup canthelan. Sehingga canthelan tetap eksis dan nilai tambahnya ada pemberdayaan masyarakat juga. Karena kalau hanya mengandalkan donasi, menurut Lejaryono sulit terwujud di kampungnya. Jadi saat ini isi canthelan berupa hasil kebun yang dihasilkan oleh warga sendiri. Kecuali hari Jumat, berwujud makanan siap saji.
Saat ini ketika pandemi memasuki gelombang kedua, Lejaryono mengakui sangat berat dampaknya. Karena pengelola canthelan, yaitu anak-anak yang tergabung dalam sanggar binaannya “Megadsari”, sebagian besar terpapar Covid sehingga harus isolasi mandiri. Sehingga mereka tidak bisa melakukan aktivitas membantu canthelan.
Akibatnya sekarang ini untuk sementara waktu aktivitas canthelan terhitung masih jalan namun tidak dicanthelkan. Paket canthelan langsung didistribusikan kepada mereka yang sedang menjalani isoman.
Sebagai penutup, Lejaryono mengatakan, “Biarlah dengan canthelan kami dianggap aneh atau tidak lazim oleh warga. Yang penting selama tidak melanggar hukum, dan faedahnya terasa bagi orang lain, kami akan tetap menjalankan canthelan.”
Narasumber kedua, Retno Narwati yang akrab disapa Iwuk, menceritakan awal mula melakukan canthelan adalah saat ada bakti sosial Kagama Solo Raya membagi-bagi beras kepada warga terdampak pandemi, ia mendapatkan saran untuk ikut program canthelan. Singkat kata dengan dana stimulus dari Kagama Care, mulailah ia merealisasikan canthelannya di kampungnya di daerah Solo.
Ternyata gerakan Iwuk didukung oleh warga, pengurus RT dan ibu-ibu PKK. Bahkan sampai dicarikan lokasi yang strategis. Iwuk mencanthelkan mulai sekitar jam 10 pagi, karena kalau terlalu pagi tidak enak sama penjual sayuran keliling di kampungnya. Lalu sore ada lagi yang mencanthelkan dari ibu-ibu PKK.
Sekitar 3 minggu berjalan, dana mulai menipis. Namun dari postingannya di media sosial, Iwuk berhasil memperoleh sejumlah donasi baik dari teman-teman Kagama maupun yang bukan.
Kagama Solo Raya juga mensupport dengan memberikan bantuan berujud beras. Hal itu yang membuat Iwuk sangat bersyukur karena dikelilingi orang-orang baik yang tidak segan membantu.
Yang membuat Iwuk sedih adalah mereka yang mengambil canthelan orangnya itu-itu saja, dan jika menilik tampilannya orang yang berkecukupan. Namun terjadi juga hal sebaliknya, mereka yang kurang mampu tidak berani mengambil canthelan. Sehingga ia kadang bertindak menjadi ‘polisi’, menunggui canthelannya sepanjang hari sampai habis. Yang tidak berani mengambil sampai harus dipersilakan agar bersedia.
Tiga bulan kemudian Iwuk mengakhiri canthelannya. Dana yang terkumpul tetap dibelikan kebutuhan pokok dan langsung disalurkan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Meski jarak rumahnya ada yang sangat jauh, namun tidak mengurangi semangat Iwuk untuk menyambanginya.
Dari canthelan Iwuk merasa mendapat pembelajaran banyak. Ia jadi malu karena selama ini sering mengeluh dalam menghadapi persoalan yang ada, sementara di luar sana banyak sekali orang-orang yang lebih membutuhkan uluran tangan. Juga, canthelan membuat Iwuk menjadi lebih sabar, menjadi lebih suka berbagi kepada sesama, dan bersedia meluangkan waktu lebih banyak buat mereka yang membutuhkan pertolongan.
Yang terakhir, Iwuk menceritakan ia juga terlibat dalam gerakan Kagama Care Ketahanan Pangan (KCKP). Ia menyebut nama Sigit Rahadi, warga Kagama Solo Raya dan aktivis KCKP yang belum lama ini meninggal akibat Covid, sebagai tokoh yang sangat berjasa membantunya dalam bercocok tanam, seperti menyediakan bibit tanaman dan membimbing dengan penuh kesabaran. Berkat bantuan Sigit, pengetahuan Iwuk dalam hal merawat tanaman sayur semakin bertambah luas.
Narasumber terakhir, Puranti Wiji Rahayu menceritakan pengalamannya menginisiasi gerakan canthelan di kampungnya di daerah Singosaren, Banguntapan, Bantul. Isi paketnya biasa berupa beras, sayuran, lauk dan bumbon. Hari pertama hanya mampu mencanthelkan 5 paket, namun kemudian berkembang hingga 60-75 paket per hari. Sumber pembiayaan selain dari uang pribadi, ada juga donasi yang berasal dari warga kompleks, dan pada awal dulu mendapat dana stimulus dari Kagama Care. Ketika kegiatannya diposting di sosial media, banyak juga donasi masuk bukan dari teman-teman Kagama saja.
Puranti menjelaskan mengapa ia memilih canthelan untuk membantu orang lain di saat pandemi. Alasannya, canthelan memudahkan masyarakat yang membutuhkan. Satu paket berisi porsi satu kali masak membuat lebih adil, merata, dan memudahkan perhitungan. Menu dan porsi sederhanan sehingga hanya yang benar-benar membutuhkan yang mengambil. Lalu, biaya pengadaan dan tenaga menjadi lebih hemat.
Kemudian, canthelan mengedukasi masyarakat tentang gizi seimbang. Selain itu, menolong petani sayur karena pada awal pandemi harga sayur di tingkat petani sempat anjlok. Juga mengedukasi masyarakat tentang protokol kesehatan, seperti memakai masker, menjaga jarak, dsb.
Namun, selain alasan-alasan tersebut di atas, Puranti melihat alasan kemanusiaan yang jauh lebih penting. Ia melihat keadaan sekitar banyak sekali yang terdampak pandemi. Ia menyadari bahwa pandemi tidak dapat diselesaikan pemerintah sendiri, harus ada kerja sama masyarakat yang pastinya akan menciptakan kekuatan yang lebih besar untuk menolong sesama.
Puranti menyebutkan banyak sekali falsafah yang bisa kita ambil dari canthelan. Menurutnya, dalam tradisi Jawa, canthelan adalah semacam tirakat kecil. Konsepnya bagi Puranti juga bagus, yaitu siapapun boleh mengambil, siapapun boleh mengisi. Lalu, ‘ora lokak malah kebak’ yang artinya memberi tidak membuat rezeki berkurang.
Dasar canthelan adalah keikhlasan, tidak perlu khawatir siapa yang mengambil. Untuk bersedekah tidak harus menunggu kaya, karena bersedekah bisa juga dengan tenaga. Puranti merasa pengelola canthelan hanyalah sekedar talang, jadi harus amanah. Katanya, sikap amanah insya allah akan membawa keberkahan. Karena rezeki sudah ada yang mengatur, kita tidak perlu khawatir.
Terakhir, Puranti berpesan kita harus selalu menjaga kesehatan agar bisa tetap menolong orang lain. Lalu, kita harus mencoba bersikap adil, jangan pilih-pilih dalam memberikan bantuan. Berbagi kebaikan juga harus dengan cara yang baik. Kita semua memiliki kewajiban untuk bersedekah, dan dalam bersedekah tidak ada istilah tombok. Semuanya akan mendapatkan manfaat.
“Tuhan pasti akan memberi jalan bagi mereka yang melakukan kebajikan.” pungkas Puranti.
*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel:
Leave a Reply