Analisis Hukum dan Dampak Pembentukan BPI Danantara: Keterkaitan dengan Kementerian BUMN dan Implikasinya pada Ketenagakerjaan

Oleh: Masykur Isnan, SH *)

Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) merupakan institusi yang memiliki tugas untuk mengelola aset negara yang terpisah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dengan tujuan untuk mendukung investasi strategis. Pembentukan BPI Danantara merupakan salah satu langkah strategis pemerintah untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui struktur manajemen yang lebih terpusat. Upaya ini sejalan dengan agenda Kementerian BUMN dalam mewujudkan “Holdingisasi BUMN” atau super holding, yaitu pengelompokan BUMN dalam entitas yang lebih terkonsolidasi. Langkah ini bertujuan untuk memperkuat daya saing perusahaan negara dan memungkinkan investasi strategis yang lebih terarah.

Selain itu, BPI Danantara diharapkan mampu memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi tantangan ekonomi global dengan meningkatkan kemampuan BUMN untuk bersaing di pasar internasional. Melalui pengelolaan aset yang lebih profesional dan independen, BPI Danantara dapat menciptakan sinergi antar-BUMN, mendorong inovasi, dan meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Dengan demikian, institusi ini bukan hanya berfungsi sebagai pengelola aset negara, tetapi juga sebagai pendorong pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Langkah ini juga memungkinkan pemerintah untuk menarik lebih banyak investor asing yang tertarik dengan proyek-proyek strategis di Indonesia.

Keterkaitan BPI Danantara dengan Kementerian BUMN

Meski BPI Danantara memiliki potensi besar dalam mengoptimalkan pengelolaan BUMN, terdapat beberapa kelemahan dan tantangan yang perlu diperhatikan. Pertama, pembentukan entitas terpisah seperti BPI Danantara dapat menimbulkan risiko birokrasi baru yang memperlambat pengambilan keputusan. Keterkaitan dengan Kementerian BUMN, meski penting untuk koordinasi strategis, dapat menciptakan ketergantungan dan memperpanjang proses koordinasi, terutama jika belum ada batasan peran yang jelas antara pengelolaan aset BUMN oleh BPI Danantara dan fungsi pengawasan oleh Kementerian BUMN.

Kedua, efektivitas BPI Danantara juga berganthng pada integritas dan kapabilitas manajemen yang mengelola aset-aset strategis. Jika tidak ditangani dengan baik, pengelolaan aset negara yang seharusnya meningkatkan nilai BUMN bisa justru menjadi beban atau malah mengalami inefisiensi. Terakhir, dengan adanya fokus pada holdingisasi atau superholding, ada kekhawatiran bahwa keberagaman dan fleksibilitas operasional BUMN-BUMN kecil dapat terganggu karena lebih berorientasi pada kepentingan holding yang lebih besar. Ini dapat mengurangi kemampuan BUMN kecil untuk bersaing secara mandiri dan berkembang sesuai potensi spesifik mereka.

Selain itu, keterkaitan BPI Danantara dengan BUMN juga membawa tantgangan dalam hal integrasi budaya kerja dan visi strategis. Dengan adanya struktur holding yang terpusat, BUMN-BUMN yang tergabung dalam super holding BPI Danantara mungkin harus menyesuaikan diri dengan kebijakan, standar, dan prioritas yang ditetapkan oleh entitas pusat. Hal ini bisa menjadi tantangan terutama bagi BUMN-BUMN kecil atau yang bergerak di sektor yang sangat spesifik, karena fleksibilitas dan otonomi yang mereka butuhkan untuk berinovasi atau merespons pasar mungkin terbatasi oleh kebijakan holding yang lebih besar.

Dampak Pengambilalihan Pengelolaan BUMN oleh BPI Danantara

Pengambilalihan pengelolaan BUMN oleh BPI Danantara membawa dampak signifikan yang dapat dirasakan baik dalam lingkup internal BUMN maupun di tingkat nasional. Dampak pertama adalah efisiensi yang diharapkan dari model pengelolaan terpusat. Dengan adanya satu entitas khusus seperti BPI Danantara, BUMN yang tergabung di bawah holding dapat memperoleh manfaat dari manajemen yang lebih profesional dan terstruktur, yang fokus pada optimalisasi aset dan investasi strategis. Efisiensi ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja keuangan BUMN secara keseluruhan, serta membuka peluang sinergi antarperusahaan, seperti integrasi rantai pasok dan berbagi infrastruktur.

Namun, di sisi lain, dampak negatif juga dapat muncul, terutama bagi BUMN yang lebih kecil. Penyeragaman strategi dan kebijakan yang diterapkan oleh BPI Danantara bisa mengurangi fleksibilitas operasional yang dibutuhkan oleh BUMN untuk bersaing dalam pasar yang dinamis. BUMN yang selama ini memiliki otonomi dalam pengambilan keputusan bisnisnya mungkin merasa terbatas oleh kebijakan holding yang berfokus pada kepentingan entitas besar. Hal ini dapat mengurangi fleksibilitas perusahaan kecil terhadap perubahan pasar.

Di tingkat nasional, pengambilalihan ini juga dapat mempengaruhi daya tarik Indonesia bagi para investor asing. Dengan pengelolaan aset negara yang lebih profesional dan tersentralisasi, kepercayaan investor terhadap stabilitas dan potensi keuntungan dari investasi di sektor-sektor strategis bisa meningkat. BPI Danantara yang berperan sebagai super holding dapat memberikan jaminan bahwa investasi akan dikelola secara transparan dan efisien, mengurangi kekhawatiran akan birokrasi yang berlebihan. Ini dapat mendorong masuknya modal asing ke sektor-sektor penting yang dikelola oleh BUMN, seperti energi, infrastruktur, dan telekomunikasi.

Namun, tantangan lain adalah adanya potensi ketidakadilan dalam alokasi dana investasi yang lebih mengutamakan BUMN besar yang dianggap memiliki potensi keuntungan lebih tinggi. BUMN di sektor publik yang sifatnya tidak terlalu menguntungkan secara finansial, tetapi memiliki peran vital dalam pelayanan publik, mungkin kurang mendapat perhatian atau dukungan dari BPI Danantara.

Dari perspektif ketenagakerjaan, pengambilalihan pengelolaan BUMN oleh BPI Danantara diharapkan tidak mengubah syarat dan norma kerja yang sudah berlaku, selama hubungan kerja antara karyawan dan BUMN terkait tetap berjalan. Dalam konteks ini, BPI Danantara sebagai super holding harus menghormati perjanjian yang ada, termasuk Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan hak-hak ketenagakerjaan lain yang telah disepakati sebelumnya.

Jika aksi korporasi seperti restrukturisasi atau perubahan manajemen terjadi di bawah kepemimpinan BPI Danantara, maka selagi tidak ada perubahan dalam syarat dan ketentuan yang menyangkut hak-hak karyawan, ketentuan-ketentuan ketenagakerjaan yang ada akan tetap berlaku. PKB, yang mencakup syarat kerja, hak-hak karyawan, dan kewajiban manajemen, masih akan diakui sebagai dasar dalam hubungan industrial antara pekerja dan perusahaan.

Dampak terhadap bidang ketenagakerjaan

Pengambilalihan pengelolaan BUMN oleh BPI Danantara sebagai super holding merupakan langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing korporasi secara keseluruhan. Sebagai entitas baru yang memayungi berbagai BUMN, BPI Danantara memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa proses pengelolaan ini dilakukan secara hati-hati dan tetap mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain berfokus pada optimalisasi kinerja perusahaan, aspek ketenagakerjaan menjadi elemen penting yang tidak boleh diabaikan. Aksi korporasi seperti ini berpotensi membawa dampak signifikan terhadap hubungan kerja, kesejahteraan karyawan, dan stabilitas hubungan industrial di bawah naungan holding. Oleh karena itu, pendekatan yang berbasis hukum, partisipatif, dan transparan menjadi kunci untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan bisnis dan hak-hak pekerja. Namun ada beberapa dampak ketenagakerjaan potensial yang mungkin timbul. Misalnya, BPI Danantara mungkin akan melakukan penilaian kinerja dan restrukturisasi organisasi untuk menyesuaikan dengan strategi holding. Proses ini bisa memunculkan kekhawatiran di kalangan karyawan terkait posisi atau tugas mereka, meskipun secara normatif tidak ada perubahan dalam PKB atau syarat kerja. Oleh karena itu, penting bagi BPI Danantara untuk mengkomunikasikan perubahan-perubahan ini secara transparan kepada karyawan, serta melibatkan serikat pekerja dalam setiap aksi korporasi yang dapat memengaruhi kondisi kerja.

Selain itu, BPI Danantara harus memastikan bahwa aspek ketenagakerjaan, termasuk kesejahteraan, hak-hak dasar, dan jaminan sosial karyawan, tetap menjadi prioritas dalam aksi korporasi apa pun. Dalam hal terjadi perubahan peran atau penugasan sebagai bagian dari efisiensi atau restrukturisasi, BPI Danantara perlu memastikan prosesnya tetap sejalan dengan prinsip-prinsip ketenagakerjaan yang adil. Aksi korporasi tidak boleh mengakibatkan penurunan kualitas syarat kerja atau mengabaikan hak-hak pekerja yang telah diatur dalam perjanjian.

Pengambilalihan pengelolaan BUMN oleh BPI Danantara sebagai super holding membawa dampak signifikan terhadap ketenagakerjaan yang perlu ditelaah secara mendalam, baik dari perspektif hubungan kerja maupun hukum ketenagakerjaan. Sebagai entitas baru yang memayungi berbagai BUMN, BPI Danantara bertanggung jawab untuk memastikan bahwa hak-hak pekerja yang telah dijamin dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), peraturan perusahaan, atau kontrak kerja individu tetap dihormati.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menggarisbawahi pentingnya prinsip pacta sunt servanda, di mana perjanjian yang telah disepakati berlaku mengikat. Dalam hal ini, BPI Danantara tidak hanya wajib mematuhi ketentuan Peraturan Perusahaan/PKB, tetapi juga memastikan bahwa syarat kerja, tunjangan, jam kerja, dan hak-hak lainnya tidak berubah tanpa persetujuan dari para pihak yang terkait. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya perselisihan hubungan industrial yang dapat berdampak pada produktivitas perusahaan dan stabilitas hubungan kerja.

Adanya restrukturisasi yang menjadi bagian dari pembentukan holding dapat membawa potensi tantangan ketenagakerjaan yang kompleks. Restrukturisasi semacam ini, jika tidak dikelola dengan baik, dapat memunculkan ketidakpastian di kalangan karyawan terkait posisi mereka, tanggung jawab baru, atau bahkan potensi pengurangan tenaga kerja.

Dalam hal ini, pengusaha diwajibkan untuk mematuhi Pasal 151 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 jo UU Nomor 6 Tahun 2023  “Pengusaha, Pekeda/Buruh, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja” Selain itu, Pasal 153 peraturan a quo melarang PHK yang dilakukan dengan alasan-alasan diskriminatif atau yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum.

Dari perspektif hukum, peran serikat pekerja menjadi sangat krusial. Serikat pekerja memiliki hak untuk dilibatkan dalam proses konsultasi terkait perubahan yang dapat memengaruhi kondisi kerja karyawan. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh mneyatakan bahwa federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertujuan untuk melindungi, membela hak dan kepentingan pekerja, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi mereka dan keluarganya. Ketentuan ini memberikan dasar hukum bagi serikat pekerja untuk berperan aktif dalam menciptakan hubungan kerja yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Oleh karena itu, setiap langkah strategis yang diambil oleh BPI Danantara, termasuk aksi korporasi, harus melibatkan serikat pekerja sebagai mitra strategis untuk memastikan kepentingan dan hak pekerja tetap terjamin.

Selain aspek hubungan kerja, perlindungan terhadap kesejahteraan pekerja juga menjadi hal yang tidak bisa diabaikan. Pasal 99 UU Nomor 13 Tahun 2003 jo UU Nomor 6 Tahun 2023 menegaskan kewajiban perusahaan untuk memberikan jaminan kesejahteraan kepada pekerja, termasuk melalui program jaminan sosial. Dalam konteks ini, BPI Danantara perlu memastikan bahwa seluruh karyawan yang berada di bawah naungan holding memiliki akses penuh terhadap program jaminan sosial yang diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Jaminan ini mencakup perlindungan terhadap kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, dan pensiun, yang semuanya merupakan hak fundamental bagi pekerja.

secara normatif tidak ada perubahan dalam PKB atau syarat kerja. Oleh karena itu, penting bagi BPI Danantara untuk mengkomunikasikan perubahan-perubahan ini secara transparan kepada karyawan, serta melibatkan serikat pekerja dalam setiap aksi korporasi yang dapat memengaruhi kondisi kerja.

Selain itu, BPI Danantara harus memastikan bahwa aspek ketenagakerjaan, termasuk kesejahteraan, hak-hak dasar, dan jaminan sosial karyawan, tetap menjadi prioritas dalam aksi korporasi apa pun. Dalam hal terjadi perubahan peran atau penugasan sebagai bagian dari efisiensi atau restrukturisasi, BPI Danantara perlu memastikan prosesnya tetap sejalan dengan prinsip-prinsip ketenagakerjaan yang adil. Aksi korporasi tidak boleh mengakibatkan penurunan kualitas syarat kerja atau mengabaikan hak-hak pekerja yang telah diatur dalam perjanjian.

Pengambilalihan pengelolaan BUMN oleh BPI Danantara sebagai super holding membawa dampak signifikan terhadap ketenagakerjaan yang perlu ditelaah secara mendalam, baik dari perspektif hubungan kerja maupun hukum ketenagakerjaan. Sebagai entitas baru yang memayungi berbagai BUMN, BPI Danantara bertanggung jawab untuk memastikan bahwa hak-hak pekerja yang telah dijamin dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), peraturan perusahaan, atau kontrak kerja individu tetap dihormati.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menggarisbawahi pentingnya prinsip pacta sunt servanda, di mana perjanjian yang telah disepakati berlaku mengikat. Dalam hal ini, BPI Danantara tidak hanya wajib mematuhi ketentuan Peraturan Perusahaan/PKB, tetapi juga memastikan bahwa syarat kerja, tunjangan, jam kerja, dan hak-hak lainnya tidak berubah tanpa persetujuan dari para pihak yang terkait. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya perselisihan hubungan industrial yang dapat berdampak pada produktivitas perusahaan dan stabilitas hubungan kerja.

Adanya restrukturisasi yang menjadi bagian dari pembentukan holding dapat membawa potensi tantangan ketenagakerjaan yang kompleks. Restrukturisasi semacam ini, jika tidak dikelola dengan baik, dapat memunculkan ketidakpastian di kalangan karyawan terkait posisi mereka, tanggung jawab baru, atau bahkan potensi pengurangan tenaga kerja.

Dalam hal ini, pengusaha diwajibkan untuk mematuhi Pasal 151 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 jo UU Nomor 6 Tahun 2023  “Pengusaha, Pekeda/Buruh, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja” Selain itu, Pasal 153 peraturan a quo melarang PHK yang dilakukan dengan alasan-alasan diskriminatif atau yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum.

Dari perspektif hukum, peran serikat pekerja menjadi sangat krusial. Serikat pekerja memiliki hak untuk dilibatkan dalam proses konsultasi terkait perubahan yang dapat memengaruhi kondisi kerja karyawan. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh mneyatakan bahwa federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertujuan untuk melindungi, membela hak dan kepentingan pekerja, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi mereka dan keluarganya. Ketentuan ini memberikan dasar hukum bagi serikat pekerja untuk berperan aktif dalam menciptakan hubungan kerja yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Oleh karena itu, setiap langkah strategis yang diambil oleh BPI Danantara, termasuk aksi korporasi, harus melibatkan serikat pekerja sebagai mitra strategis untuk memastikan kepentingan dan hak pekerja tetap terjamin.

Selain aspek hubungan kerja, perlindungan terhadap kesejahteraan pekerja juga menjadi hal yang tidak bisa diabaikan. Pasal 99 UU Nomor 13 Tahun 2003 jo UU Nomor 6 Tahun 2023 menegaskan kewajiban perusahaan untuk memberikan jaminan kesejahteraan kepada pekerja, termasuk melalui program jaminan sosial. Dalam konteks ini, BPI Danantara perlu memastikan bahwa seluruh karyawan yang berada di bawah naungan holding memiliki akses penuh terhadap program jaminan sosial yang diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Jaminan ini mencakup perlindungan terhadap kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, dan pensiun, yang semuanya merupakan hak fundamental bagi pekerja.

————————–

*) Penulis adalah alumnus Fakultas Hukum UGM angkatan 2007, yang saat ini berprofesi sebagai Advokat Spesialis Hukum Ketenagakerjaan/Hubungan Industrial, Industrial Relation Expert di pelbagai industri (otomotif, perbankan, dll), dosen tamu di beberapa universitas/politeknik, penulis/kolomis, pembicara dan trainer di pelbagai workshop/training, founder IR Talk