Kita sebagai sivitas akademika Universitas Gadjah Mada pastilah sudah familiar dengan lagu “Hymne Gadjah Mada”, bahkan banyak yang hapal liriknya. Karena dalam acara seperti perayaan dies natalis, wisuda, penerimaan mahasiswa baru, musyawarah nasional atau daerah, dan acara-acara resmi universitas lainnya selalu diawali dengan mengumandangkan “Hymne Gadjah Mada”. Namun barangkali masih ada yang belum tahu nama penciptanya apalagi proses kreatif di balik penciptaan lagu tersebut.
Pencipta “Hymne Gadjah Mada” bernama lengkap Drs. I Gusti Ngurah Suthasoma, biasa akrab disapa Pak Sut. Lahir di Bangli, Bali, 16 Oktober 1921, putra dari pasangan I Gusti Nyoman Tjawi dan I Gusti Ayu Tjandrawati. Saat berumur 6 tahun ibunya meninggal dunia. Karena ayahnya menikah lagi kemudian ia diasuh oleh pamannya dari jalur ayah yang tinggal di Lombok sampai kelas 5 SD. Ketika naik kelas 6 ia diminta lagi hak pengasuhannya oleh ayahnya.
Saat itu pendidikannya kurang diperhatikan. Hoby & bakat musiknya sama sekali tidak tersalurkan. Bahkan saat itu ia sering mendapatkan hukuman, karena sering mengambil alat-alat musik seperti gitar, biola atau mandolin untuk dipakai berlatih musik sendiri. Memang seluruh keluarganya berbakat seni, baik dari keluarga kakek, ayah dan ibu yang merupakan orang asli Bali. Tidak hanya meliputi seni musik saja, tapi juga seni tari, ukir, kerajinan tangan dan drama. Bakat seni tersebut menurun sampai ke anak cucu termasuk Pak Sut. Jadi kemampuan bermusik Pak Sut memang murni dari bakat, karena ia tidak pernah belajar formil seni musik tapi belajar sendiri secara otodidak.
Pada tahun 1952 Pak Sut diterima kuliah di Fakultas Sastera, Ilmu Paedagogik dan Filsafat Universitas Gadjah Mada. Di tahun awal masa studinya ia mempunyai ide brilian menciptakan sebuah lagu dengan tujuan untuk mendorong semangat belajarnya sendiri di UGM dan demikian juga bagi mahasiswa mahasiswi lainnya di UGM, yang kemudian kita kenal dengan “Hymne Gadjah Mada”. Saat menciptakan lagu tersebut, yang terbayang di benak Pak Sut adalah sosok Patih Gadjah Mada yang ditulis Muhammad Yamin dalam bukunya. Ia berharap mahasiswa UGM saat mendengarnya akan merasa jadi orang besar dan gigih seperti figur Patih Gadjah Mada.
Dalam proses penciptaannya tidak butuh waktu terlalu lama & nyaris tanpa hambatan. Soal aransemennya Pak Sut sempat ditawari bekerja sama dengan komposer Rusia, namun ia merasa lebih suka bekerja dengan kawan sebangsa. Maka akhirnya ia memilih komposer terkenal Kusbini yang salah satu karyanya adalah “Bagimu Negeri”.
Yang menarik piano merk Niendorf buatan Jerman yang dipakai Pak Sut dalam menciptakan “Hymne Gadjah Mada” sampai saat ini masih dalam kondisi baik & berfungsi normal. Dirawat dengan sangat baik oleh I Gusti Ayu Irafani Adipranata, putri sulung pak Sut yang akrab disapa mbak Aan, di rumahnya di Jakarta. Menurut perempuan lulusan Sastra Inggris UGM angkatan 1973 tersebut, piano sudah diperbaiki dan direnovasi. Apabila ada teman-teman berkunjung ke rumah pada pingin bernyanyi, seringnya diiringi oleh piano warisan ayahnya tersebut.
Setelah jadi “Hymne Gadjah Mada” pertama kali dikumandangkan pada acara Dies Natalis UGM pada tanggal 19 Desember 1952. Meski demikian hymne tersebut baru resmi menjadi statuta UGM pada tahun 1992. Dua tahun kemudian di acara Dies Natalis UGM 19 Desember 1994, Pak Sut bersama Kusbini mendapat penghargaan atas karyanya tersebut. Piagam penghargaan diserahkan langsung oleh Rektor UGM saat itu Prof. Dr. Sukanto Reksohadiprojo, M.Com.
Mbak Aan, putri sulung Pak Sut merasa lagu “Hymne UGM” dari tahun ke tahun sejak diciptakan mengalami perubahan. Banyak yang menyanyikannya dengan cara yang tidak benar. Hingga keluarga Pak Sut bersama dengan pihak UGM mengadakan acara untuk mengembalikan menyanyikan “Hymne Gadjah Mada” secara betul yang diaransemen ulang oleh Romo A. Soetanto pada tanggal 16 November 2013 di Auditorium Fakultas Kedokteran UGM, dalam sebuah konser berjudul “Konser Syukur Mengenang Pencipta Hymne Gadjah Mada Drs. I Gusti Ngurah Suthasoma”.
Hadir dalam acara tersebut Prof. Pratikno, Rektor UGM saat itu, dimana ia sempat memberikan apresiasinya atas jasa Pak Sut. Menurut Prof. Pratikno, terus dikumandangkannya hymne ciptaan Pak Sut di banyak acara UGM, menandakan selalu relevannya substansi, pesan dan nilai moral yang dikandung dalam lagu tersebut.
Dalam konser penghormatan kepada Pak Sut tersebut publik baru mengetahui jika ada puluhan lagu anak-anak yang digubah Pak Sut. “Bapak memang menjadi pengarang lagu-lagu anak, karya-karya beliau cukup banyak. Di jaman penjajahan sering mengadakan siaran di RRI Yogyakarta, mengajar musik di rumah bagi anak-anak, mengadakan konser di rumah kami di daerah Mrican Baru bersama dan untuk anak didiknya.” ujar mbak Aan.
Mbak Aan menambahkan, “Bapak itu orangnya sangat sederhana, rendah hati, pendidik yang sabar tidak menunjukkan AKU-nya. Filosofinya adalah tidak ada orang yang pinter banget atau bodoh banget. Semua manusia mempunyai kelebihan kekurangan masing-masing dan mempunyai talenta yang berbeda-beda. Mempunyai filosofi hidup yang tinggi, otodidak dalam berbagai hal keilmuan karena berusaha mencari jawaban dari segala macam pertanyaannya sendiri.”
Menanggapi Adiswara Gadjah Mada yang belum lama ini mengangkat “Hymne Gadjah Mada” dalam proyek video terbarunya, mbak Aan mengatakan, “Saya sangat bangga dengan Adiswara karena di tengah-tengah pandemi & masa sulit seperti ini mereka bersama-sama mengangkat Hymne Gadjah Mada yang menjadi kebanggaan setiap mahasiswa mahasiswi UGM. Saya sangat appreciate kepada Mbak Kusuma ‘Rita’ Prabandari Ketua Adiswara yang mampu membuat personil Adiswara bersatu serta bisa menghasilkan paduan suara yang indah untuk dikenang.”
Pak Sut telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya pada tahun 1996, dan dimakamkan di Kuncen. Raga boleh telah tiada, tapi karya akan abadi dikenang selamanya. Hymne Gadjah Mada akan tetap dikumandangkan dalam berbagai acara, dan di saat itulah kita akan terkenang sebuah mahakarya Pak Suthasoma.