
Merapi: Lima Tahun Erupsi, Pelajaran dari Letusan Dahsyat dan Ancaman yang Tak Pernah Usai
Yogyakarta, KAGAMA.ID — Di kaki Gunung Merapi, waktu berjalan bersama risiko. Lima belas tahun setelah letusan dahsyat 2010, gunung api paling aktif di Indonesia ini kembali menguji daya tahan manusia dan teknologi. Erupsi yang dimulai pada 2021 belum juga berakhir. Perilakunya berbeda: lebih panjang, lebih kompleks, dan menuntut kewaspadaan berlapis.

“Peringatan dini yang baik belum cukup untuk mencegah korban. Masyarakat harus mampu merespons setiap peringatan yang diberikan,” ujar Agus Budi Santoso, Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), dalam forum mitigasi bencana, Kamis (14/11).
Jejak Luka 2010
Letusan Merapi pada 2010 tercatat sebagai yang terbesar sejak abad ke-18, dengan indeks VEI 4. Volume material yang dimuntahkan mencapai lebih dari 100 juta meter kubik. Kolom erupsi menjulang hingga 17 kilometer, mengubah morfologi puncak Merapi dan memaksa pembaruan peta Kawasan Rawan Bencana (KRB).
Dampaknya sangat besar: 350.000 jiwa mengungsi, ratusan korban meninggal, dan kerugian ekonomi mencapai Rp 3,6 triliun. “Nyawa manusia tidak bisa dinilai dengan apapun. Ini pelajaran penting bahwa mitigasi harus berjalan seiring dengan kesiapsiagaan masyarakat,” kata Agus.
Foto-foto dari masa itu masih membekas: pemukiman hancur dalam radius 10 kilometer, awan panas meluncur ke Kali Gendol, dan wajah-wajah panik di barak pengungsian. “Yang menarik, sebagian besar korban di Jawa Tengah bukan karena luka bakar, tetapi karena keos evakuasi,” ujar Agus. Ini menandakan kerentanan sosial yang serius.
Perilaku Baru: Erupsi Panjang dan Kubah Ganda
Sejak 2021, Merapi memasuki fase erupsi yang berbeda. Jika sebelumnya letusan berlangsung 2–3 bulan, kini sudah hampir lima tahun. Dua kubah lava aktif—di kawah tengah dan tebing barat daya—menjadi sumber ancaman utama. Selain itu, deformasi puncak yang terus terjadi hingga 18 meter ke arah barat menambah risiko longsoran.
“Kami sangat khawatir dengan potensi kejadian seperti 1994, ketika longsoran kubah memicu awan panas sejauh 6,5 kilometer dan menewaskan 64 orang,” ujar Agus. Pemodelan terbaru menunjukkan awan panas bisa meluncur hingga 7 km ke Kali Krasak dan 5 km ke Kali Boyong.
Ancaman tak hanya datang dari kubah baru. Kubah lava tua, sisa erupsi 1888, juga menunjukkan pembengkakan. “Ini menambah kompleksitas. Kita berhadapan dengan tiga sumber bahaya sekaligus,” kata Agus.
Teknologi: Mata yang Tak Pernah Berkedip
BPPTKG kini mengoperasikan sistem pemantauan paling lengkap di Indonesia, bahkan bersaing dengan negara maju. Sensor seismik, radar berbasis darat (ground-based InSAR), drone, dan pemantauan deformasi real-time menjadi andalan. Data dikirim melalui aplikasi, web, hingga notifikasi Telegram untuk mempercepat respons.
Radar interferometri yang dipasang di lereng mampu mendeteksi pergerakan kubah dalam hitungan menit dengan akurasi sentimeter. “Teknologi ini biasanya dipakai di tambang untuk memantau kestabilan tebing. Kami adaptasi untuk Merapi,” ujar Agus.
Namun, teknologi bukan satu-satunya jawaban. “Kami sudah melatih sekitar 6.000 warga melalui program Wajib Latih Penanggulangan Bencana. Ini modal sosial yang sangat berarti,” kata Agus. Koordinasi rutin dengan pemerintah daerah juga dilakukan untuk memperkuat kapasitas dan mengendalikan kerentanan.
Strategi Lima Pilar
Agus merinci lima strategi mitigasi Merapi:
- Penguatan pemantauan dengan sensor seismik, deformasi, dan survei drone.
- Penilaian bahaya berbasis data dan pemodelan skenario erupsi.
- Pengambilan keputusan cepat terkait status dan radius bahaya.
- Penyebaran informasi multi-kanal, dari aplikasi hingga radio komunitas.
- Peningkatan kapasitas masyarakat melalui latihan rutin dan edukasi.
“Peringatan dini yang baik belum cukup jika masyarakat tidak tahu harus berbuat apa,” tegas Agus.
Tantangan Ke Depan
Merapi tetap menjadi ancaman utama di Jawa Tengah dan DIY. Perubahan perilaku erupsi menuntut adaptasi strategi mitigasi. “Kita tidak bisa mengandalkan pola lama. Perlu penguatan sistem peringatan dini dan kesiapsiagaan masyarakat,” kata Agus.
Pelajaran dari 2010 jelas: peringatan dini harus diikuti tindakan cepat dan tepat. Sebab, di kaki Merapi, waktu selalu berjalan bersama risiko.