Dalam rangka memperingati dies natalis ke-72 UGM dan merayakan Hari Ibu, PP KAGAMA menggelar webinar spesial berjudul “KAGAMA Berbagi 5: Meneguhkan Jati Diri Indonesia melalui Warisan Wastra Nusantara” via Zoom Meetings, Minggu (19/12/2021). Webinar menghadirkan dua perempuan hebat, yaitu Chandra Kirana Prijosusilo (Pendiri Yayasan Sekar Kawung), dan Sitawati Ken Utami (Pendiri Perkumpulan Perempuan Berkebaya Indonesia). Pidato sambutan disampaikan oleh Dr. Friderica Widyasari Dewi, S.E., M.B.A (Direktur Utama PT BRI Danareksa Sekuritas & Wakil Bendahara Umum PP KAGAMA). Jalannya webinar dipandu oleh Belinda A. Margono, Ph.D. (Kordep Pengembangan Seni & Budaya PP KAGAMA) sebagai moderator dan Muthiah (Humas PP KAGAMA) sebagai MC.
Sitawati Ken Utami memaparkan kebaya sebagai cerminan keindahahan nusantara. Kebaya secara etimologi berasal dari bahasa arab “kaba” yang berarti pakaian. Mulanya diperkenalkan portugis ke Nusantara dengan kata Cabaya. Sekitar abad 15-16, perempuan nusantara memakai kemben dan ditambahkan penutup kemudian menjadi kebaya dalam prosesnya.
Sita melanjutkan, kebaya panjang diadopsi dari wanita Portugis yang datang ke Malaka pada abad 16. Kata Cabaya berarti baju longgar yang panjangnya sampai dibawah lutut. Kata kebaya sudah tertulis dalam catatan Gubernur Hindia Belanda dalam buku “History of Java” (1817). Bentuk awal kebaya diyakini berasal dari Kerajaan Majapahit dan biasa digunakan oleh permaisuri serta keluarga keraton.
“Kebaya dalam perkembangannya melahirkan berbagai jenis dan variasinya. Kebaya Kartini dan Kebaya Kutubaru misalnya. Kebaya juga dapat dipadu padankan dengan busana perempuan nusantara seperti Kebaya dan Ulos, Kebaya dan Tenun Bali, Kebaya dan Kain NTT, Kebaya di Papua, Kebaya Basiba Minang. Perkumpulan Perempuan Berkebaya Indonesia mengupayakan kebaya sebagai bagian dari warisan benda yang mendapatkan pengakuan dari UNESCO,” pungkasnya.
Selanjutnya Chandara Kirana Prijosusilo, founder Yayasan Sekar Kawung, mengatakan wastra merupakan berbagai jenis kain tradisional yang berasal dari segala penjuru daerah di Indonesia. Kita bisa memuliakan dan melestarikan wastra Indonesia melalui 2 jalur, yaitu pertama lewat sustainable fashion yang bernilai tinggi (serat warna alami, terus menyempurnakan teknik dan mengangkat pelaku yang membuatnya). Kedua, menjadikan wastra sebagai bagian seni budaya Indonesia dalam berbagai pameran seni tekstil, lelang tekstil dan masuk dalam komersialisasi produk Indonesia.
Chandra bersama Sekar Kawung pada tahun 2017 memperkenalkan seni tekstil tenun ikat Sumba Timur karya Kelompok Paluanda Lama Hamu di Museum Bank Mandiri Jakarta. Tenun ikat Sumba Timur lestari dari segi pewarnaan dan kuat dari segi budaya namun sumber benangnya kurang lestari karena berasal dari pohon gewang. Yayasan Sekar Kawung bermimpi agar setiap sentra tenun di Indonesia memiliki kemandirian dari segi bahan serat, bahan pewarna. Dapat didesain kontemporer dan keluar dari “kotak” etnis. Inovasi teknologi dan kontekstualisasi agar menjadi modern, membuat wastra menjadi produk fashion & living yang akar budayanya kuat, inovatid dan adaptif.
Chandra menambahkan, di Stanford Art Center, Singapura berlangsung pameran kebudayaan Mancapat pada tanggal 4 – 19 Desember 2021 yang mengangkat tenun dan batik Gedog Tuban. Batik Gedog sudah hidup sejak zaman pra Majapahit dan masih terus hidup hingga kini. Tantangan ke depannya adalah menguatkan akar budaya dan memberikan pupuk agar wastra terus berkembang dalam kebudayaan Indonesia. Tentunya selaras dengan pengembangan agroforestry yang memadukan tanaman serat dan teknologi pewarnaan alami.
“Ke depannya harus bermunculan lembaga studi teknologi dan seni tekstil kontemporer untuk menjaga kelestarian wastra nusantara,” demikian harapan Chandra sekaligus mengakhiri paparannya. [arma]
*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: