Oleh: Siti Helmyati*
Selama ini kita kita sangat sering mendengar istilah stunting, terkadang ada juga yang menyebutnya stunted. Di Hari Gizi yang jatuh pada tanggal 25 Januari ini ada baiknya kita membahas apa itu stunting. Tema Hari Gizi Nasional tahun ini adalah “Remaja Sehat, Bebas Anemia”. Tema ini sangat berkaitan erat dengan permasalahan stunting karena salah satu pendekatan pencegahan stunting adalah mencegah remaja putri mengalami anemia gizi besi.
Jika kita membahas stunting, kita tidak hanya membahas anak yang memiliki tubuh yang pendek. Lebih dari itu, kita membicarakan mengenai kualitas sumber daya manusia ke depannya, karena terjadinya stunting merupakan suatu penanda hal tersebut.
Di awal disebutkan adanya sebagian orang yang menyebut stunting dan sebagian lainnya menyebut stunted, kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah keduanya merupakan hal yang sama atau berbeda?
Stunting menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization / WHO) adalah kegagalan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak akibat asupan gizi yang kurang dalam waktu yang lama, menderita penyakit infeksi berulang dan stimulus psikososial yang tidak adekuat. Sedangkan stunted didefinisikan sebagai panjang atau tinggi badan menurut umur (PB atau TB/U) kurang dari -2 standar deviasi (-2SD) standar median WHO Child Growth Standards. Berdasar pengertian tersebut, anak yang stunting pasti stunted sedangkan anak yang stunted belum tentu stunting.
Prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2018 berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) adalah 30,8%. Pada tahun 2019, menurut hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) sebesar 27,67%. Angka ini diprediksi akan naik menjadi 32,5% pada tahun 2021 akibat pandemi COVID-19, sebagaimana disampaikan dalam pertemuan “Tantangan dan Peluang Pencapaian Target Stunting RPJMN 2024 di Era Pandemi COVID-19” pada tanggal 7 November 2020 di Makasar. Pemerintah sendiri menetapkan target penurunan prevalensi stunting pada tahun 2024 adalah sebesar 14%. Tentu bukan suatu hal yang mudah dan membutuhkan kerjasama banyak pihak untuk mewujudkan hal ini.
Penyebab stunting
Terjadinya stunting pada balita disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa faktor utama yang memengaruhi yaitu 1) status gizi ibu sebelum, selama, dan setelah melahirkan, 2) situasi lingkungan yang meliputi kebersihan, stimulasi tumbuh kembang bagi balita, keamanan pangan keluarga, dan tingkat pendidikan pengasuh, 3) kualitas dan kuantitas makanan pendamping yang dipengaruhi oleh cara pemberian dan keamanan pangan, 4) pemberian ASI eksklusif untuk bayi umur 0-6 bulan, serta 5) kejadian infeksi pada balita. Faktor-faktor tersebut dipengaruhi oleh berbagai situasi yang lebih besar. Sebagai contoh situasi politik, sistem infrastruktur, akses terhadap pendidikan, dan sistem pangan di suatu wilayah atau negara. Hal-hal tersebut dapat memengaruhi kemampuan keluarga untuk memiliki kehidupan yang layak dan sejahtera.
Stunting disebabkan oleh banyak faktor yang kompleks. Apabila seorang anak telah menjadi stunting, sangat sulit untuk memperbaiki status gizi tanpa diimbangi oleh intervensi yang tepat. Balita stunting yang kelebihan asupan akan mengakibatkan obesitas, sedangkan kurang asupan akan meningkatkan risiko mengalami gizi buruk dan defisiensi zat gizi mikro. Kedua kondisi ini tentu akan memperburuk status kesehatan balita stunting dan justru menimbulkan permasalahan gizi ganda yang lebih berbahaya dampaknya.
Program pencegahan dan penanganan stunting di Indonesia
Periode terbaik untuk mencegah dan mengatasi stunting adalah 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Masa ini diawali sejak pre-konsepsi hingga anak berusia 24 bulan. Pemerintah bekerjasama dengan berbagai pihak termasuk swasta, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan berbagai sektor terkait untuk menetapkan upaya-upaya pencegahan stunting yang menyasar populasi 1000 HPK. Intervensi pencegahan stunting juga menyasar kelompok remaja putri untuk mencegah anemia gizi besi. Dalam jangka panjang diharapkan para remaja putri dapat menjadi ibu yang sadar gizi dan melahirkan generasi yang tidak stunting.
Program pencegahan stunting di Indonesia terbagi menjadi dua kategori utama yaitu intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Intervensi gizi spesifik merupakan intervensi bidang kesehatan yang menyasar pada asupan makanan dan gizi masyarakat. Sedangkan intervensi gizi sensitif diisi oleh sektor-sektor di luar kesehatan, namun secara tidak langsung memengaruhi status gizi balita. Berikut ini merupakan contoh intervensi gizi sensitif dan spesifik yang dilakukan di Indonesia:
Program-program tersebut dilaksanakan pemerintah dalam lingkup masyarakat. Akan tetapi, kita juga dapat berperan untuk melindungi keluarga dan orang terdekat dari stunting dengan langkah sederhana.
Pertama, memastikan bahwa ibu memiliki status gizi yang baik sebelum, selama, dan setelah melahirkan. Kedua, tinggal di lingkungan yang terjaga kebersihannya dan memiliki sumber air bersih yang cukup. Ketiga, memberikan ASI eksklusif kepada bayi hingga usia 6 bulan. Setelah bayi berusia 6 bulan, kita wajib memberikan makanan pendamping dengan kuantitas dan kualitas sesuai umur bayi. Keempat, rutin memantau dan memberikan stimulasi tumbuh kembang secara mandiri atau di fasilitas kesehatan. Kita juga dapat memberikan edukasi bagi keluarga terdekat untuk mendukung program pencegahan stunting dan menerapkan perilaku gizi yang baik sehari-hari.
Peran Universitas Gadjah Mada untuk pencegahan stunting
Universitas Gadjah Mada sebagai salah satu leading university terus memberikan kontribusi untuk upaya penurunan angka stunting di Indonesia. Upaya tersebut mencakup pengembangan makanan fungsional, pengembangan alat skrining stunting, dan pendampingan kepada dinas kesehatan untuk memantau program stunting.
- Pengembangan susu fermentasi sinbiotik dengan fortifikasi zat besi dan seng “FORTY MILK”
Pengembangan susu fermentasi sinbiotik dengan fortifikasi zat besi dan seng telah dimulai sejak tahun 2013. Seng dan zat besi merupakan zat gizi mikro yang baik untuk memacu pertumbuhan serta dapat mencegah anemia gizi besi. Pada penelitian terhadap balita stunting di Yogyakarta, pemberian produk ini dapat memacu penambahan tinggi badan hingga 2,58cm dalam 3 bulan. Angka ini sedikit lebih tinggi dibandingkan rerata pertumbuhan normal menurut WHO yaitu 2,50 cm dalam 3 bulan untuk anak usia 2-5 tahun. Produk ini diberi nama “Forty Milk” dan saat ini sudah memperoleh paten dan dipasarkan secara terbatas bekerjasama dengan UKM di Yogyakarta. - Pengembangan kit deteksi dini stunting “GAMA-KiDS”
GAMA-KiDS merupakan sebuah paket alat yang terdiri dari tikar panjang badan dan cakram status gizi panjang badan menurut umur (PB/U). GAMA-KiDS bertujuan mengatasi keterbatasan alat ukur di posyandu serta membantu kader agar dapat secara cepat mendeteksi keberadaan baduta stunting.
Alat ini didesain lebih ringan, menarik untuk anak, dan mudah dibaca oleh kader. Dengan kehadiran GAMA-KiDS, diharapkan intervensi bagi baduta stunting dapat dilakukan sedini mungkin. Pengujian telah dilakukan di beberapa posyandu yang terletak di Kabupaten Sleman DI Yogyakarta, Kabupaten Pidie Aceh, dan Kabupaten Katingan Kalimantan Timur. Pengembangan terhadap alat masih dilakukan hingga sekarang. - Monitoring dan evaluasi berbasis elektronik (e-Monev) untuk pemulihan program gizi terkait stunting dari dampak pandemi COVID-19 di 260 kabupaten/kota lokus stunting di Indonesia
Proyek ini merupakan kerjasama antara Direktorat Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI dan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK), FK-KMK UGM. PKMK menggandeng Pusat Kesehatan dan Gizi Manusia (PKGM), FK-KMK UGM sebagai pelaksana dan bermitra dengan 17 perguruan tinggi di Indonesia untuk melaksanakan pendampingan kepada 260 Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Aktivitas ini dilakukan untuk mengetahui dampak pandemi Covid-19 terhadap 6 program gizi untuk penurunan angka stunting yang berfokus pada balita. Dinas Kesehatan juga dapat melakukan analisis kebijakan dan strategi pemulihan untuk berbagai pihak untuk mengatasi dampak pandemi.
Untuk pertama kali dilaksanakan pendekatan monitoring dan evaluasi berbasis elektronik dengan memanfaatkan data rutin e-PPGBM pusat. Kegiatan ini diharapkan dapat terus berjalan dan menjadi suatu terobosan bagi upaya penanganan stunting di Indonesia.
*) Penulis adalah dosen Prodi Gizi Kesehatan FKKMK UGM