
Oleh: Humas Kabek Jabodetabek
Kagama Beksan Jabodetabek (KBJ) di bawah koordinator Belinda Arunarwati Margono tetap konsisten mengangkat budaya Nusantara. Bukan hanya pada level tontonan semata, namun juga sebagai kesadaran kolektif bahwa warisan seni tari dan budaya Nusantara merupakan tanggung jawab bersama yang harus dijaga dan dirawat.

Foto: Bayu Saputra
Semenjak berdiri sekitar hampir 6 tahun lalu, KBJ terus serius berkarya. Telah banyak kegiatan pentas seni yang telah diikuti oleh KBJ. Festival Kota Lama Semarang, Festival Lima Gunung Magelang, Hari Tari Dunia Solo, Nitilaku, juga Malam Alumni UGM merupakan kegiatan rutin di mana KBJ ikut berpartisipasi.
KBJ bahkan telah mampu menggelar dua pentas mandiri, yaitu Parade Tari dan Budaya Nusantara bertajuk “Cakrawala” di Gedung Pewayangan – Taman Mini Indonesia Indah, pada bulan Agustus 2023; dan setahun kemudian menggelar Drama Tari “Kalayatra” berkolaborasi dengan Paguyuban Wayang Orang Bharata, di Gedung Kesenian Jakarta. Kedua pagelaran tersebut, membuat KBJ semakin dikenal sebagai komunitas tari yang berkarya di Jakarta, dan membuat beberapa undangan panggung pun terus mengalir.
Pada masa persiapan Drama Tari Kalayatra sekitar bulan Agustus 2024, tidak disangka KBJ mendapat undangan untuk berpartisipasi pada event ‘Langen Beksan Nemlikuran’ yang digelar sebulan sekali setiap tanggal 26, di Surakarta. KBJ mulai latihan serius untuk berpartisipasi di event tersebut pada awal tahun 2025.

Foto: Bayu Saputra
Sekedar informasi, event Nemlikuran ini diprakarsai oleh para-alumni SMKI (sekarang SMKN 8 Surakarta), dimana para alumninya mendirikan komunitas Langen Beksan Nemlikuran. Sejak 22 tahun yang lalu, Langen Beksan Nemlikuran tergerak untuk terus melestarikan budaya nusantara lewat pertunjukan tari tradisional. Tujuannya untuk memberi semacam ruang untuk berproses atau sebagai laboratorium seni, dengan adanya diskusi-diskusi dan pagelaran tari.
Kemudian disepakati setiap bulan digelar beberapa sajian tari, yang orientasinya lebih pada tari tradisi. Karena pentasnya setiap tanggal 26 maka diberi nama Nemlikuran, diambil dari kata nemlikur yang berarti dua puluh enam dalam bahasa Jawa. Adapun dipilihnya tanggal 26 untuk memeringati hari lahir Konservatori Karawitan pada 26 Agustus 1950.
KBJ tertarik untuk berpartisipasi dalam Nemlikuran, karena proses untuk tampil dalam acara tersebut harus melalui proses kurasi terlebih dahulu oleh kurator Nemlikuran. Dalam hal ini kurator sangat jeli dalam memilih materi ataupun tema yang akan ditampilkan, sekaligus kualitas tampilannya. Yang artinya, setiap pengisi Langen Beksan Nemlikuran, diharapkan dapat mempersiapkan kelompoknya secara maksimal.

Foto: Bayu Saputra
Koordinator rombongan KBJ di Nemlikuran, Shinta Rizanti Binol, mengatakan KBJ berkeinginan dapat mendukung baik secara moral maupun material, agar pelestarian seni tradisi melalui Nemlikuran dapat bertahan sebagai laboratorium seni untuk melestarikan seni di tengah perkembangan zaman.
“Adanya kurasi tarian justru menjadi tantangan bagi kami, karena kami harus sungguh-sungguh mempersiapkannya agar kualitas sajiannya benar-benar teruji dan lolos kurasi. Dan syukur alhamdulillah setelah melalui proses kurasi yang cukup ketat, akhirnya kami dinyatakan layak tampil pada event Nemlikuran, dan memperoleh jadwal pentas Sabtu 26 April 2025,” ujarnya.
Menanggapi pernyataan Shinta, Belinda menambahkan tantangan yang dihadapi KBJ lumayan berat, karena komunitas Langen Beksan Nemlikuran meminta iringan atau gending yang dipakai dalam pentas Nemlikuran, haruslah secara ’live’. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi KBJ, mengingat mendapatkan fasilitas gending ’live’ di Jakarta tidaklah mudah dan murah. Mengingat selama berlatih di Jakarta, KBJ terbiasa menggunakan iringan rekaman, dan sehari menjelang pentas baru berlatih langsung ’tempuk gending’, dengan para pengrawit di Surakarta.

Foto: Bayu Saputra
”Ini jelas tidaklah mudah, mengingat unsur ’wirama’, adalah salah satu komponen penting dalam menari tari klasik. Terlebih performance KBJ di Nemlikuran mengusung tema ‘Dharabexana Yogyakarta Nusantaraya’ atau warisan tari klasik gaya Yogyakarta untuk Nusantara. Dalam hal ini beda gaya pengrawit antara gaya Surakarta dan Yogyakarta, membuat para penari, pelatih, dan pengrawit harus melakukan penyesuaian, hanya dalam waktu sehari,” ucap Belinda.
Menjelang pentas, rombongan KBJ berangkat ke Surakarta terdiri atas 21 personil utama dari Jakarta, dan 9 personil pendukung – untuk kostum, perias khusus, penabuh kendang dan keprak, dari Yogyakarta. Total KBJ membawakan 5 komposisi tari klasik gaya Yogyakarta, yaitu tari Golek Ayun-ayun, Beksan Srikandi – Suradewati, Beksan Klana Topeng Gunungsari, Beksan Menak Rengganis – Adaninggar, dan Beksan Lawung Jajar, yang semuanya merupakan tari klasik gaya Yogyakarta karya agung Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang kita kenal sebagai Joged Mataram.
Hendricus Widi, salah satu pelatih tari klasik gaya Yogyakarta di KBJ, menjelaskan bahwa semua tarian tersebut dilahirkan di tengah dinamika sejarah, yang mana memadukan kedisiplinan istana dengan kedalaman makna filosofi Jawa.

Foto: Bayu Saputra
Secara rinci, Widi juga menjelaskan apabila setiap gerakan dan ekspresi Joged Mataram dibangun di atas empat pijakan utama, yaitu yang pertama sawiji, melambangkan kesatuan hati, raga, dan pikiran, sehingga tarian terasa utuh dalam setiap gerakannya. Berikutnya, greget sebagai simbol semangat berkobar dan tekad yang kuat. Lalu, sengguh atau kesungguhan dan kepercayaan diri tanpa riak kesombongan di mana tercermin dalam postur anggun dan ekspresi tulus penari. Yang terakhir, ora mingkuh, yaitu tekad pantang mundur, nampak jelas saat penari melangkah mantap tak tergoyahkan.
Menurut Widi, dengan keempat filosofi tersebut Joged Mataram bukan sekadar pertunjukan, melainkan warisan budaya yang sarat karakter dan patut dijaga. Dalam rangka melestarikan keindahan itulah, KBJ menampilkan Joged Mataram dalam satu kemasan pentas—sebuah penghormatan bagi warisan Nusantara yang kita cintai.
Belinda menambahkan apa yang diungkapkan oleh Widi, bahwa KBJ memang ingin serius menjaga tari klasik gaya Yogyakarta. Untuk itu “Dharabexana Yogyakarta Nusasantaraya” merupakan salah satu persembahan KBJ yang dikhususkan untuk menggambarkan keagungan tari klasik gaya Yogyakarta. “Harapannya, ditampilkannya jenis-jenis tari klasik gaya Yogyakarta ini, benar-benar bisa menunjukkan semangat dan kegigihan KBJ dalam mencintai dan melestarikan seni tari Nusantara, khususnya gaya Yogyakarta, tempat UGM berada,” tuturnya.

Foto: Bayu Saputra
Sebagai ciri khas, mengingat KBJ adalah komunitas tari yang ada di Jakarta, maka juga dibawakan tari asal Betawi “Kinang Kilaras”, sebagai tarian penutup. Tarian tersebut dipersiapkan secara serius, dan bahkan sempat ditarikan para penari bersama penonton, sebagai sarana untuk bersama-sama mengenal tarian Nusantara.