Catatan Krisis Bantuan Subsidi Upah (BSU)

Oleh:  Masykur Isnan, SH *) 

Pemerintah kembali menyalurkan program Bantuan Subsidi Upah (BSU) pada tahun 2025 sebagai bentuk stimulus untuk menjaga daya beli pekerja berpendapatan rendah di tengah tekanan ekonomi nasional. Program ini disalurkan sebesar Rp.300.000 per bulan selama dua bulan, atau total Rp.600.000 yang dibayarkan sekaligus pada bulan Juni 2025. Dana tersebut berasal dari pagu anggaran sebesar Rp10,72 triliun dari APBN dan ditujukan bagi sekitar 17,3 juta pekerja dan buruh berpenghasilan maksimal Rp3,5 juta, termasuk sekitar 565.000 guru honorer dari Kemendikbud dan Kemenag. Di atas kertas, kebijakan ini terlihat responsif, tetapi dalam implementasinya justru mengundang berbagai kritik karena terbatasnya jangkauan, potensi ketidaktepatan sasaran, dan absennya solusi jangka panjang terhadap persoalan struktural ketenagakerjaan.

Durasi program yang hanya berlaku untuk periode Juni–Juli 2025 serta skema penyaluran yang langsung diberikan secara sekaligus di bulan Juni menimbulkan ketidakpastian lanjutan. Banyak pekerja menyatakan bahwa bantuan ini hanya cukup untuk menutupi kebutuhan harian selama beberapa hari saja dan tidak bisa diandalkan sebagai instrumen pengaman sosial yang efektif. Dalam konteks kebutuhan hidup pekerja saat ini, nilai bantuan sebesar Rp600.000 tidak memberikan dampak signifikan terhadap kondisi ekonomi rumah tangga buruh. Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, dalam berbagai kesempatan menyampaikan bahwa BSU memang dapat membantu dalam jangka pendek, tetapi setelah dua bulan daya beli pasti akan kembali turun. Pernyataan ini senada dengan pendapat para ekonom yang menilai bahwa jumlah kecil dari BSU memiliki multiplier effect yang sangat terbatas terhadap perekonomian nasional.

Karena daya beli yang hanya terdongkrak sementara, konsumsi domestik sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi tidak mengalami peningkatan signifikan. Ini berarti BSU tidak memberikan efek lonjakan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang pada kuartal pertama 2025 masih berada di bawah 5%. Tanpa skema berkelanjutan dan intervensi yang terstruktur, BSU justru menjadi bantuan yang hanya memberi kesan perhatian pemerintah, tanpa menyelesaikan persoalan mendasar pekerja di sektor formal maupun informal.

Banyak usulan agar pemerintah mulai merumuskan kebijakan alternatif yang lebih struktural. Salah satunya adalah menaikkan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP). Gagasan ini dinilai akan meningkatkan penghasilan riil pekerja dan secara otomatis memperkuat daya beli tanpa harus melalui program bantuan tunai yang tidak berkelanjutan. Selain itu, pengaturan upah minimum yang lebih rasional dan berbasis biaya hidup di masing-masing daerah perlu dikedepankan untuk menggantikan pendekatan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang selama ini digunakan. Penggunaan dana sebesar Rp.10,72 triliun yang dialokasikan untuk BSU juga bisa dialihkan untuk memperluas cakupan dan manfaat jaminan sosial seperti Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Hari Tua di BP Jamsostek.

Dari sisi implementasi, penyaluran BSU tahun ini juga masih menghadapi tantangan dalam validasi dan verifikasi data. Permenaker Nomor 5 Tahun 2025 menyatakan bahwa penerima BSU harus merupakan peserta aktif BP Jamsostek hingga April 2025 dengan gaji maksimal Rp.3,5 juta. Namun, data per 12 Juni 2025 menunjukkan banyak pekerja yang statusnya masih “dalam proses verifikasi” karena sinkronisasi data antara BPJS, PKH, dan komponen bantuan lain belum selesai. Situasi ini menunjukkan bahwa persoalan akurasi dan integrasi data belum sepenuhnya tuntas dan bisa berujung pada tumpang tindih bantuan atau tertundanya pencairan dana bagi yang benar-benar membutuhkan.

Penyaluran BSU menggunakan rekening bank-bank milik negara yakni BNI, BRI, BTN, Mandiri, BSI dan Pos Indonesia dinilai lebih transparan daripada bantuan tunai. Namun demikian, proses ini tetap memiliki tantangan teknis. Tidak sedikit pekerja yang rekeningnya tidak aktif, tidak sesuai nama, atau bahkan belum memiliki rekening bank, sehingga harus melalui proses pembukaan rekening kolektif yang rawan tertunda. Persoalan ini memperlambat distribusi dan membuka peluang keterlambatan dalam menyalurkan hak pekerja.

Di luar pekerja formal, kelompok pekerja informal, freelance, dan sektor mikro tetap tersingkir dari jangkauan BSU. Kriteria yang mensyaratkan keanggotaan aktif dalam BP Jamsostek membuat banyak pekerja yang tidak memiliki akses terhadap jaminan sosial akhirnya tidak menerima bantuan. Menurut Said Iqbal, banyak buruh tidak menerima BSU karena perusahaan tidak mendaftarkan mereka ke BPJS. Ketentuan ini membuat program BSU menjadi sangat formalistik dan berpotensi memperbesar kesenjangan antara kelompok pekerja formal yang terlindungi dan kelompok informal yang dibiarkan menghadapi tekanan ekonomi sendiri.

Berbagai pihak mulai menyuarakan kritik terhadap desain program BSU ini. Selain Said Iqbal yang mendorong agar skema bantuan jangka panjang dikaji ulang, Kepala BP Jamsostek menegaskan bahwa prioritas saat ini adalah perbaikan dan pemutakhiran data agar tidak terjadi kesalahan dalam penyaluran. Beberapa ekonom juga mengusulkan agar program seperti BSU dilengkapi dengan insentif lain yang lebih menjangkau kelompok rentan, seperti diskon tarif listrik, keringanan iuran BPJS, atau program jaminan sosial yang inklusif terhadap pekerja informal.

Agar BSU benar-benar bermanfaat dan tidak menjadi simbol kebijakan yang gagal, pemerintah perlu membangun sistem data tenaga kerja yang terintegrasi antara BPJS, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Sosial. Pelibatan forum multipihak, seperti serikat pekerja, pengusaha, dan akademisi, dalam perumusan kebijakan akan meningkatkan akurasi dan akuntabilitas program. Lebih jauh, pemerintah perlu bergerak menuju kebijakan ketenagakerjaan yang berkelanjutan, seperti reformasi pajak penghasilan buruh, kebijakan upah berbasis kebutuhan hidup, dan skema jaminan sosial yang universal.

Secara keseluruhan, BSU 2025 adalah intervensi penting namun sangat terbatas. Nilainya kecil, durasinya singkat, dan banyak kelompok rentan yang tidak terjangkau. Tanpa reformasi kebijakan ketenagakerjaan dan penguatan sistem perlindungan sosial, BSU hanya akan menjadi intervensi simbolis yang tidak menyentuh akar persoalan ekonomi pekerja Indonesia.

______________________________

*) Penulis adalah alumnus Fakultas Hukum UGM angkatan 2007, yang saat ini berprofesi sebagai Advokat Spesialis Hukum Ketenagakerjaan/Hubungan Industrial, Industrial Relation Expert di pelbagai industri (otomotif, perbankan, dll), dosen tamu di beberapa universitas/politeknik, penulis/kolomis, pembicara dan trainer di pelbagai workshop/training, founder IR Talk