Menjadi Pemimpin: Dari Akar Nilai ke Sayap Global

Menjadi Pemimpin: Dari Akar Nilai ke Sayap Global

YOGYAKARTA, KAGAMA.ID — Kepemimpinan bukanlah warisan, melainkan hasil pembentukan karakter, nilai, dan keterampilan yang diasah terus-menerus. Hal ini ditegaskan oleh Ir. Iwan Hermawan, ST, MT, MM., IPU., ASEAN Eng, Executive Vice President Divisi Perencanaan Jalan Tol PT Hutama Karya (Persero), dalam forum KAGAMA bertajuk Shaping the Leader Within: Locally Rooted, Globally Respected, yang digelar di Yogyakarta, Minggu (9/11).

Mengangkat tema besar self-leadership, Iwan menekankan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang mampu memimpin dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain. “Menguasai orang lain adalah kekuatan, tetapi menguasai diri sendiri adalah kekuatan sejati,” kutipnya dari filsuf Tiongkok, Lao Tzu.

Pilar Kepemimpinan Diri

Dalam paparannya, Iwan menguraikan tujuh pilar kepemimpinan diri: personal mastery, self-regulation, self-correcting feedback, self-reward, self-efficacy, self-awareness, dan self-motivation. Pilar-pilar ini, menurutnya, menjadi fondasi dalam membentuk pemimpin yang tangguh, adaptif, dan berintegritas.

“Pemimpin yang baik bukan hanya menyelesaikan tugas, tetapi menciptakan nilai dan dampak. Mereka adalah value creator yang berpikir solutif dan inovatif,” ujarnya.

Membangun Merek Kepemimpinan

Lebih dari sekadar jabatan, Iwan menekankan pentingnya membangun personal dan leadership brand. Kepemimpinan, katanya, adalah proses sosial yang mencerminkan nilai, visi, dan cara seseorang memberi pengaruh. “Merek kepemimpinan yang kuat akan meningkatkan visibilitas, memperluas jaringan, dan membuka peluang baru,” katanya.

Ia juga menggarisbawahi pentingnya membangun narasi pribadi, menjaga konsistensi dalam interaksi, serta secara aktif menyosialisasikan nilai-nilai kepemimpinan kepada lingkungan sekitar.

Keterampilan Kunci: Mendengar dan Mengelola Pemangku Kepentingan

Salah satu keterampilan utama pemimpin, menurut Iwan, adalah kemampuan mendengar secara aktif. Studi Harvard Business School menunjukkan bahwa 25 persen waktu dalam percakapan dihabiskan tanpa benar-benar mendengarkan. “Mendengar aktif memperkuat hubungan, meningkatkan efektivitas umpan balik, dan menciptakan budaya organisasi yang saling menghargai,” jelasnya.

Selain itu, manajemen pemangku kepentingan menjadi kunci keberhasilan jangka panjang. “Kepercayaan tidak dibangun saat krisis terjadi, tetapi jauh sebelum itu,” tegasnya, mengutip laporan McKinsey.

Kepemimpinan Digital dan Peran UGM

Di era transformasi digital, pemimpin dituntut memiliki orientasi strategis, kemampuan analitik, dan keberanian berinovasi. Iwan menekankan pentingnya membangun budaya organisasi yang berbasis data dan kecerdasan buatan (AI), serta kepemimpinan yang berpusat pada manusia namun didukung teknologi.

Menutup sesi, Iwan menegaskan peran Universitas Gadjah Mada dalam membentuk pemimpin masa depan. “UGM menjulang tinggi dengan reputasi global, namun tetap kokoh berakar pada nilai Pancasila, perjuangan, kerakyatan, dan kebudayaan,” ujarnya.

Dengan semangat locally rooted, globally respected, alumni UGM diharapkan terus menjadi pemimpin yang tidak hanya unggul secara profesional, tetapi juga membawa manfaat bagi masyarakat luas.