Kamis (19/12/2020) berlangsung webinar yang diselenggarakan oleh PP Kagama dengan judul “Persahabatan yang Melintasi Perbedaan – Kisah Alumni UGM Berteman dengan R Maryono Sj”. Anwar Sanusi, Ph.D., Wakil Ketua Umum 2 PP Kagama, berkenan memberikan kata sambutan. Tampil sebagai narasumber adalah Aloysius Maryadi, Hasanuddin Abdurrakhman, Lestari Oktavia, Arief Prihantoro, RM Antonius Widyarsono SJ. Sedangkan Gusti Ngurah Putra bertindak sebagai moderator, serta Wiwit Wijayanti, staff humas PP Kagama menjadi pembawa acara.
Romo Maryono menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Kamis 12 November 2020 pukul 09.55 WIB, setelah menjalani perawatan di RS St. Elisabeth Semarang. Romo meninggal setelah dirawat 2 hari di bangsal Carolus dengan gejala demam selama seminggu yang kemudian terkonfirmasi positif Covid-19. Ia dikenal dekat dengan kawan-kawan Kagama melalui berbagai kegiatan diskusi serta aksi kemanusiaan.
Narasumber pertama, Aloysius Maryadi yang merupakan adik kandung dari Romo Maryono, berbagi cerita tentang mereka berdua yang tumbuh dari keluarga sederhana. Mereka dulu sangat dekat dengan sarana mushola di lingkungan mereka, mengingat di rumah saat itu tidak ada sarana MCK. Sebagian besar warga juga menggunakan musholla untuk mandi, mencuci piring, dll. Waktu itu mereka sangat akrab dengan suara adzan hingga hafal beberapa lantunan doa dan dzikir. Selain itu keluarganya juga pernah mengadakan syukuran tahbisan dengan cara islam. Momen itu terjadi ketika kakaknya disunat lalu orang tuanya mengundang kerabat dan tetangga untuk syukuran dengan 2 versi, yaitu secara Islam dan Katolik.
Ada moment yang paling diingat oleh Maryadi, “Saya masih ingat betul, hal yang membuat kakak saya jengkel, adalah ketika kami di-bully oleh salah seorang teman dengan mengatakan, kalau kamu mati, kamu nanti disalib!” ujar Maryadi.
Setelah kakaknya meninggal ia merenungkan pem-bully-an tersebut. Ia menganggap ejekan tersebut memiliki makna yang dalam. Menurutnya kakaknya meninggal dengan disalib. Dalam ajaran Katolik, justru salib dimaknai sebagai tugas dan tanggung jawab.
Narasumber berikutnya, Hasanuddin Abdurrakhman mengaku dekat dengan Romo Maryono Sj. Ia sering berdiskusi bersama Romo Maryono mengenai perbedaan, dengan pikiran terbuka. Ia dan Romo memiliki latar belakang yang jauh berbeda baik dari segi keluarga maupun agama. Namun justru hal itulah yang menjadi alasannya untuk sering berdiskusi dengan Romo.
Hasanuddin berbagi pengalaman tentang bagaimana ada sekelompok orang yang seringkali menghasut dengan melabeli sekelompok orang lain yang ingin membuat masyarakat berpindah agama. Ia pernah berdiskusi dengan Romo Maryono mengenai hal tersebut. “Problemnya bukan pada soal berbeda itu, tapi pada persoalan ketidakpahaman kita tentang sesuatu yang kemudian dibelok-belokkan, dikompor-kompori, dibakar-bakari yang lagi-lagi basisnya tidak paham.” ujar Hasanudin sembari bercerita pengalaman diskusinya dengan Romo Maryono.
Menurut Hasanuddin jika kita benar-benar memahami perbedaan itu sendiri, seharusnya perbedaan bukanlah sebuah masalah. Perbedaan itu sudah ada dari sananya, dan perbedaan itu indah.
Di akhir pemaparan, Hasanuddin bercerita tentang dirinya yang seringkali mengunjungi Romo Maryono. Ia sangat suka lingkungan tempat tinggal Romo, dan dari setiap kunjungannya selalu menghasilkan beberapa renungan berbeda yang menjadi sebuah pelajaran hidup untuknya.
Narasumber ketiga, Lestari Octavia yang akrab disapa Ayik mengaku belum lama kenal dengan Romo Maryono, namun ia sangat merasakan kehilangan Romo. Ia sangat terkesan dengan Romo yang selalu ingin membantu sesama. Ia selalu teringat dengan perkataan Romo, “Kita mungkin tidak bersama dalam keimanan, tapi kita bersama dalam kemanusiaan”.
Ayik kemudianberbagi pengalamannya bersama Romo dalam kegiatan sosial yaitu “Perahu untuk Sumba”. Kegiatan tersebut bermula dari wacana Romo yang mengajaknya untuk membuat sebuah acara bersifat komunal yang menyatukan umat, menghimpun banyak orang, dan diikuti oleh banyak sobat Kagama.
Meski ada kendala di awal yaitu kegiatan yang digagasnya membutuhkan dana yang cukup besar, namun semua bisa terselesaikan. Romo Maryono menawarkan Ayik untuk mengisi homili atau semacam khotbah untuk mencari donasi. Ayuk mengaku kaget karena ia seorang muslim dan selalu mengenakan kerudung. Romo dengan santai menjawab, “Tidak apa-apa, biar umatku tahu bahwa kebenaran bisa datang dari mana saja.”
Akhirnya Ayik memberanikan diri mengambil tawaran dari Romo, untuk mengisi homili 6x selama 2 hari. Lalu tidak disangka berbagai donasi berdatangan dan kegiatan sosial dapat berjalan lancar dan bermanfaat untuk anak-anak sekolah di Sumba.
Persahabatan Ayik dengan Romo Maryono membuahkan banyak pelajaran baginya tentang kemanusiaan, pengalaman batin dan perbedaan. Ia berharap bisa mengenal baik romo-romo lain yang bisa bersahabat dengannya, sebaik persahabatannya dengan Romo Maryono meskipun cukup singkat.
Narasumber keempat, Arief Prihantoro merupakan seorang yang dekat dengan Romo Maryono. Ia menyebut dirinya adalah teman gojeg Romo. Ia berbagi pengalaman tentang seringnya mereka berdua saling ejek dalam artian bercanda. Menurutnya Romo tidak pernah marah sekalipun, bahkan sering kali Romo membalas ejekannya dengan ejekan lain yang berakhir dengan senyuman. Arief bisa memaklumi kalau orang lain berpikir ia kurang ajar sama Romo karena candaannya.
Ia mengaku pernah dianggap menghina umat agama lain oleh ibunya karena statusnya di Facebook. Kemudian ia menjelaskan bahwa hal tersebut hanyalah sekedar candaannya dengan Romo Maryono. Salah satu bentuk keakraban keduanya memang bercanda perihal agama. Ia dan Romo seringkali tertawa bersama ketika melihat respon berbagai orang atas candaan mereka berdua melalui platform sosial media.
“Rasa sayang, rasa persahabatan, rasa kedekatan tidak harus selalu diungkapkan dengan romantisme melankolis.” ungkap Arief di akhir kesempatannya bercerita.
Narasumber terakhir, Romo Antonius Widyarsono adalah merupakan teman satu angkatan Romo Maryono di Seminari Mertoyudan pada tahun 1985. Sejak saat itu mereka berdua menjadi sahabat yang baik, meskipun umur Romo Maryono lebih tua, 6 tahun di atasnya.
Romo Widyarsono menceritakan tentang kemurahan hati seorang Romo Maryono. “Hal itulah yang membuat banyak kesan baik di antara kita terhadap beliau. Kemurahan hatinya membuat kita selalu merasa dirangkul olehnya.” pungkas Romo Widyarsono. [itok]
*) Materi webinar bisa dilihat dilihat di kanal Youtube Kagama Channel: