
Oleh: Lya Fahmi
Aku pernah menerima diagnosa penyakit yang cukup serius, tapi menerimanya dengan perasaan yang biasa-biasa aja.
Tahun 1998, kulitku ditumbuhi ruam-ruam merah. Dokter mengira itu jamur, lalu ia meresepkan obat bernama griseofulvin. Bukannya sembuh, kulitku melepuh parah. Semua permukaan kulitku menjadi hangus seperti terbakar. Dengan kondisi yang semakin payah, aku dilarikan ke RSUD Pekanbaru. Disitulah diagnosa Stevens-Johnson ditegakkan.
Tak ada hal buruk yang aku dan keluargaku pikirkan saat menerima diagnosa itu. Kami baru mendengar nama penyakit itu dan tak punya pemaknaan khusus tentangnya. Yang kami tahu hanya alergi obat dan aku akan sembuh. Begitulah hari-hari sakit itu kulalui, optimis dan banyak makan.
Setelah dewasa, aku baru tahu kalau stevens-johnson ternyata penyakit berbahaya. Ia merupakan sindroma yang dapat mengancam jiwa.
Aku bersyukur tak mengenal internet pada tahun 1998. Jika dulu aku sudah bisa googling, mungkin proses penyembuhanku berjalan dengan tidak gampang. Aku mungkin stress karena sangat khawatir nyawaku bisa melayang.
Dengan pengalaman ini, rasanya apa yang dikatakan dosenku dulu benar sekali. Stimulus itu netral, respon kitalah yang bervariasi. Apa yang menimpa kita sejatinya netral, cara kita memaknainyalah yang membuat kita merasa kuat atau justru tertekan.
Di era internet seperti sekarang, ketidaktahuan yang memberikan ketenangan sepertinya tidak akan pernah terjadi lagi. Kita begitu mudah mendapatkan informasi yang berpengaruh terhadap cara kita memaknai sebuah peristiwa.
Sebutlah tentang kasus corona. Aku termasuk yang meyakini bahwa infeksi virus ini berbahaya, setidaknya berbahaya bagi kelompok tertentu yang memiliki penyakit penyerta. Keyakinan ini membuatku tak bisa membayangkan andai aku yang terkena. Jika aku terinfeksi corona, rasanya itu hal yang sangat sulit kuterima.
Dan, ternyata memang iya. Aku tidak terinfeksi corona, tapi ketika mendengar kabar seorang sahabat yang sudah kuanggap seperti kakak sendiri terinfeksi, aku merasa sedih luar biasa. Aku takut dia dalam bahaya. Aku takut jika terjadi apa-apa.
Dalam kondisi itu, lalu apa yang kulakukan? Bagaimana aku mengendalikan diri?
Aku kembali pada kesadaran bahwa apapun yang terjadi di dunia ini adalah netral. Keyakinanku bahwa penyakit ini berbahaya perlu diimbangi dengan fakta lain yang memberi pengharapan. Temanku masih muda, ia tak memiliki penyakit penyerta, ia sudah berada di ruang perawatan yang semestinya, dan ia membalas WA ku dengan segera. Fakta-fakta ini semestinya mendukung dan memperkuat pikiran bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Dan, begitulah caraku mengurangi kecemasan.
Jujur, belakangan ada banyak hal yang kucemaskan, mulai dari keselamatanku sendiri, keselamatan keluarga, dan keselamatan teman-teman di lingkungan sosial aku berada. Tapi aku berusaha menerima bahwa saat ini mengalami perasaan cemas itu normal saja. Satu-satunya yang tidak normal adalah situasi darurat yang kita hadapi bersama.
Prinsip kesehatan mental dalam situasi bencana adalah stress itu NORMAL dalam situasi yang abnormal.
Ya sudah, kita bisa apa. Mari saling dukung dan bertahan bersama-sama.
Leave a Reply