Aplikasi Perubahan Perilaku dan Budaya dalam Dunia Industri Sebagai Pembelajaran

Oleh: Drs. Ali Dikri, MM

Jika kita menengok kembali ke akhir tahun 1800-an atau awal 1900-an, pada saat itu industri belum berpikir untuk menerapkan keselamatan kerja buat karyawannya. Di masa no safety regime tersebut perusahaan masih fokus pada produksi dan keuntungan, serta resiko pekerjaan adalah bagian yang harus diterima. Karena banyak sekali kecelakaan yang terjadi, mulailah masuk ke regulation regime. Otoritas mencoba membuat peraturan dan standar keselamatan, sehingga mulai banyak aturan dalam bekerja.

Pada regulation regime kecelakaan kerja mulai menurun namun masih tetap banyak terjadi. Hal itu mendorong mulai masuk ke management system regime, dunia industri mulai mengembangkan sistem manajemen keselamatan yang terintegrasi dengan proses bisnis. Pengaruhnya kecelakaan kerja mulai menurun tajam, namun belum bisa dikatakan zerro accident atau level yang kita harapkan. Sehingga industri mulai berfikir lebih jauh lagi apa cara yang bisa diterapkan untuk semakin menekan angka kecelakaan kerja di tempat kerja kita. Akhirnya dikembangkanlah human-behavior regime yang mulai memasukkan aspek-aspek perilaku manusia dalam proses industri.

Keselamatan berbasis perilaku bisa dirumuskan dengan ABC model. Di mana A merupakan anticedent, B adalah behaviors dan C adalah consequences. Anticedent adalah sesuatu atau kondisi yang menjadi stimulus sesaat sebelum dilakukannya perilaku tersebut. Seseorang melakukan perilaku (behavior) karena sesuatu yang diterima atau akan diterima (consequences) sebagai hasil dari tindakan tersebut. Jika tidak sesuai dengan ekspektasi maka perilaku tidak akan dilakukan atau mengubah dengan perilaku yang lain. Namun apabila sesuai dengan ekspektasi, perilaku akan diulang kembali sehingga menjadi kebiasaan (habit) yang selanjutnya menjadi budaya (culture) dalam tataran populasi (organisasi atau masyarakat).

Consequences atau konsekuensi bisa dibahas lewat analisa Positive Immediate Certain (PIC) dan Negative Immediate Certain (NIC), yaitu diberikan atribut jenisnya sesuai yang kita harapkan (positif) atau tidak sesuai dengan harapan kita (negatif). Lalu hasilnya bisa langsung (immediate) atau nanti (future). Jika melihat probabilitasnya, kejadiannya bisa pasti (certain) atau tidak pasti (uncertain).

Misalnya perilaku menggunakan masker. Anticedent-nya bisa bersumber dari protokol kesehatan, peraturan PSBB, dll. Konsekuensinya bagi yang meyakini bisa terhindar dari infeksi, itu termasuk PIC. Namun bagi orang lain memakai masker bisa jadi tidak nyaman, ribet atau repot, menambah biaya, itu termasuk NIC. Yang tidak mau patuh dan mencari enaknya sendiri tentulah konsekuensi resikonya akan semakin besar, begitu pula sebaliknya yang kecil resikonya cenderung konsekuensinya dituntut berperilaku tidak menyenangkan bagi pelakunya.

Pada titik ini kita bisa memberi intervensi dengan cara memberi konsekuensi tambahan (artificial consequences) yang diperlukan untuk memperkuat serta mempercepat proses perubahan perilaku / behavior reinforcement. Intervensi bisa dilakukan lewat dua cara yaitu Positive Reinforcement (R+) berupa pujian, apresiasi, hadiah, dll dan Negative Reinforcement (R-) berupa teguran, denda, hukuman, dll. Kaidah-kaidah itulah yang bisa kita pakai dalam perubahan perilaku ke arah yang lebih selamat, dan R+ terbukti lebih ‘sustain’ atau efektif. Jadi tantangannya adalah bagaimana caranya meningkatkan R+ dalam perilaku tatanan baru, lewat saling obervasi dan memberikan feedback.

Selanjutnya dalam konteks perubahan perilaku ada aspek penting yang mendukung manajemen sistem, yaitu leadership atau kepemimpinan menjadi faktor sentral dan penentu tunggal yang paling besar untuk keberhasilan sistem manajemen, termasuk perubahan perilaku. Di sini kita pakai teori model pensil, di mana ujung yang tajam adalah masyarakat sebagai ujung tombak yang terjun langsung dan paling besar kemungkinan terpapar resiko. Sedang ujung tumpul adalah di mana pimpinan berada. Potensinya paling kecil terpapar resiko tapi justru paling besar pengaruhnya untuk menentukan perilaku di ujung yang tajam. Jadi secara indfividu visibilitas dari pemimpin sangat penting, bukan hanya dilihat secara fisik tapi kebijakan apa yang diambilnya untuk masyarakat. Secara kolektif, diperlukan konsistensi dan keberpihakan kepada keselamatan atau perilaku tatanan baru (Leadership Accountibility).

Berikutnya kinerja manusia atau human performance juga menentukan perubahan perilaku. Premis yang pertama setiap manusia pasti membuat kesalahan dan itu perlu dipahami secara rasional kenapa kesalahan itu terjadi. Yang pertama kesalahan merupakan perilaku manusiawi yang bisa terjadi karena situasi dan keterbatasan akan suatu hal. Terhadap kelompok ini solusinya adalah perlu kita dukung dan bantu. Yang kedua adalah kesalahan pelaku beresiko karena pemahaman dan ketrampilan yang kurang memadai. Tugas kita untuk memberikan pelatihan dan bimbingan buat kelompok tersebut. Yang ketiga adalah kesalahan yang pelakunya ceroboh atau disengaja dengan berbagai macam alasan. Solusinya harus didisiplinkan. Untuk ketiga kelompok tersebut perlu dilakukan evaluasi secara komprehensif, konstruktif dan konsisten dengan melihat faktor perilaku manusia.

Premis yang kedua manusia cenderung membuat toleransi dalam penerapan tata kelola atau standar, yang dianalogkan sebagai “kebijaksanaan” yang bersifat permisif. Jika toleransi terus terjadi maka kita akan melakukan drifting atau terseret dari normal yang kita inginkan. Kita terbiasa melakukan deviasi yang kemudian dianggap wajar. Kombinasi dan akumulasi toleransi terhadap penyimpangan cepat atau lambat akan berakibat kecelakaan terjadi. Untuk itu kita harus memperkuat non-human safeguards atau engineering measures untuk mencegah terjadinya kesalahan, akibat adanya toleransi. Karena kita menyadari manusia adalah safeguards yang lemah. Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah zero tolerance, dengan semboyan “do it safely or not at all”. Kerjakan dengan benar dan aman atau berhenti total.

Yang perlu kita sadari masih banyak tantangan yang menghadang di depan. Perubahan perilaku tidak bisa sekejap terwujud tapi butuh waktu dan perlu konsistensi. Dibutuhkan ketekunan, kesabaran dan keberlanjutan atau PPE (Passion, Patience, Endurance). Kita harus lebih intensif untuk melakukan “interaksi” namun dengan adanya protokol jaga jarak menjadi keterbatasan kita. Untuk itu kita harus mengoptimalkan pemanfaatn teknologi media online untuk interaksi pembentukan perilaku (Interfacce Technology).

Kita harus memahami bahwa masyarakat kita adalah penuh kebhinekaan atau heterogen, yang merupakan berkah sekaligus tantangan. Kita harus pintar-pintar menggali dan memanfaatkan unsur kesamaan dan kebersamaan dalam pelaksanaan program (Common Ground). Kesamaan bisa berupa kesamaan agama, suku, hobby, kepentingan, ketertarikan akan sesuatu, dll.

Selain itu kita harus memanfaatkan cara pendekatan yang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat setempat (Local Wisdom). Yang harus kita sadari tidak ada satupun model atau tools yang cocok untuk semua kondisi atau sesuatu (No Silver Bullet). Yang penting pesannya harus konsisten.

Pelaksanaan kampanye perubahan perilaku tidak cukup hanya memberi penjelasan apa itu tatanan perilaku baru, tapi juga harus dibarengi dengan Positive Reinforcement (R+) secara terus menerus, berkesinambungan dan konsisten. Kita bisa memanfaatkan acara kumpul-kumpul di kampung seperti rapat RT dan kumpulan PKK, atau acara keagamaan semisal kumpulan pengajian, khotbah saat jumatan, khotbah hari Minggu di gereja, dll, untuk menyampaikan ajakan positif dengan tujuan merefresh masyarakat. Setiap ada kumpulan orang meski hanya sedikit jumlahnya, diusahakan menmbicarakan dan menginformasikan tentang perilaku tatanan baru. Apabila dilakukan terus menerus di seluruh lapisan sosial akan tercipta preaching & anchoring ke dalam kesadaran masyarakat.

Peran pimpinan (leadership accountibility) benar-benar sangat penting di sini, bagaimana kemampuannya untuk mentransformasikan individu-individu secara personal dari keharusan menjadi keinginan dan bisa melakukannya sehingga berujung kepada kebutuhan. Lalu secara kelompok dengan adanya peraturan dan motivasi berupa dorongan dari luar diharapkan satu sama lain saling membantu sehingga lama-lama timbul kesadaran diri untuk melakukannya. Kemudian struktur di masyarakat harus kita bangun, bukan hanya dengan cara melakukan denda, hukuman atau hadiah namun juga memberikan berbagai ketrampilan sehingga akhirnya terbentuk internalized atau sistem diri yang otomatis terbentuk.

*) Makalah ini disampaikan dalam ‘Seminar Online Sinergi UGM-KAGAMA Seri ke-2: Perubahan Perilaku, Tantangan Untuk Membangun Budaya Tatanan Baru’ Minggu 12 Juli 2020

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*