Desa Inklusif, Desa untuk Semua Warga

Desa Inklusif sebuah istilah yang mulai dikenal, namun belum banyak yang mengetahuinya. Desa Inklusif adalah tatanan masyarakat desa yang mengakui, menghormati, memenuhi, melindungi serta melayani hak-hak seluruh warga desa termasuk masyarakat rentan dan marjinal. Setiap warga desa idealnya bersedia secara sukarela membuka ruang bagi semua pihak dan meniadakan hambatan untuk berpartisipasi secara setara, saling menghargai serta merangkul setiap perbedaan.

Masyarakat rentan dan marjinal adalah kelompok atau anggota masyarakat yang karena perbedaan status sosial, ekonomi, politik, gender, perbedaan fisik, dll mengalami hambatan dalam mengakses dan menikmati pembangunan secara setara. Misalnya kelompok miskin,kelompok perempuan, orang dengan disabilitas/berkebutuhan khusus, anak-anak, lansia, masyarakat adat, kelompok minoritas keagamaan dan kepercayaan, orang yang hidup dengan HIV/AIDS dan kelompok lain yang tak terlihat.

Desa Inklusif adalah salah satu program Kagama yang dijalankan sebagai mandat sinergi tiga lembaga yaitu Kagama, UGM dan Kemendesa PDTT yang tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Pilot Desa Inklusif Kagama ini mengacu pada panduan fasilitasi Desa Inklusif yang dikembangkan oleh Kemendesa PDTT namun dilaksanakan secara khusus di lokasi yang dipilih Kagama dan dijalankan oleh kader-kader Kagama.

Bimtek di Desa Pucung, Wonogiri, 26-27 November 2020

Desa-desa yang dipilih akan difasilitasi secara khusus dan bertahap mulai dari persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi hingga berhasil menjadi desa yang inklusif. Sebagai lokasi pilot, desa yang diusulkan harus punya potensi “berhasil”. Oleh karena itu sebagai lokasi percontohan, setidaknya memenuhi kriteria seperti aksesibel atau mudah terjangkau, dan ada sumber daya yang tersedia (tim Kagama, kader, jaringan). Serta sebagai modalitas awal, sebaiknya bukan lokasi yang sama sekali baru, yakni desa yang pernah ada treatment sebelumnya atau pernah menjadi lokasi kegiatan Kagama. Yang terakhir, potensi penerimaan dari desa dan kabupaten baik sehingga memudahkan koordinasi.

Bimtek di Desa Malaka, Lombok Utara, 26-27 November 2020

Dari begitu banyaknya desa yang diusulkan, akhirnya terpilih 14 desa mencakup 7 provinsi. Di Jawa Tengah ada 3 desa yaitu Jatisobo (Sukoharjo), Pucung (Wonogiri) dan Kadipiro (Surakarta). Lalu ada 2 desa di provinsi Sulawesi Tengah yaitu desa Rogo dan Sintuvu, yang semuanya ada di wilayah Kab. Sigi. Di provinsi NTB ada 3 desa yaitu Marente dan Juran Alas yang berada di Kab. Sumbawa Besar, serta Malaka di Lombok Utara. Kemudian di Bali hanya ada satu desa yaitu Pempatan di Kab. Karangasem. Di Kalimantan Timur juga hanya ada satu desa yaitu Karya Jaya Semboja di Kutai Kertenagara. Di Lampung ada 2 desa yaitu Dadapan (Tanggamus) dan Liman Benawi (Lampung Tengah). Yang terakhir ada 2 desa di wilayah provinsi DIY yaitu Salamrejo (Kulonprogo) dan Sumber Rahayu (Sleman).

Sebagai langkah awal menuju Desa Inklusif, Kementerian Desa PDTT yang difasilitasi Kagama menyelenggarakan Bimbingan Teknis (Bimtek) selama 2 hari di semua desa. Bimtek sudah berhasil dilaksanakan di 13 desa mulai dari tanggal 23 November s/d 8 Desember 2020. Satu desa yang belum masuk jadwal Bimtek tahun ini adalah Sumber Rahayu di wilayah Sleman, karena pengusulannya terhitung terlambat.

Bimtek di Desa Jatisobo, Sukoharjo, 23-24 November 2020

Abdul Halim Iskandar, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, yang hadir pada momen pencanangan Desa Jatisobo, Kab. Sukoharjo sebagai Desa Inklusif tanggal 19 November 2020 yang lalu, menyatakan rasa senangnya sekaligus bangga. Ia berharap Jatisobo akan bisa menjadi pilot project untuk program desa inklusif lainnya. Desa-desa lain kelak diharapkan akan mereplikasi desa inklusif yang sudah berjalan, sesuai dengan kearifan lokal masing-masing, serta dengan merancang pembangunan desa merujuk akar budaya setempat.

Abdul Halim menambahkan, desa inklusif merupakan representasi dari kebhinekaan bangsa Indonesia. Dengan terbentuknya desa inklusif, maka semua masyarakat di dalamnya benar-benar bisa menghargai perbedaan yang ada. Perbedaan jangan sampai menghalangi masyarakatnya untuk membangun bersama. Apabila semua desa di Indonesia saling menghormati, menghargai, mengakomodasi, saling memiliki, dan semuanya terlibat, maka akan sangat indah. Siapapun dia, tanpa memandang apa warna kulitnya, sukunya, apakah difabel atau tidak, semuanya dapat berkontribusi membangun desanya masing-masing.

Bimtek di Desa Karya Jaya Semboja, Kutai Kertanegara, 3-4 Desember 2020

Dalam kesempatan yang sama di Jatisobo, Ganjar Pranowo, Ketua Umum KAGAMA, mengatakan bangga ada 3 desa di wilayahnya sebagai percontohan untuk desa-desa lain. Sehingga, kelak makin banyak desa di wilayah Jawa Tengah yang bisa mereplikasinya. “Yang paling penting dari desa inklusif adalah semuanya terlibat, tidak ada yang merasa ditinggalkan. Khususnya kaum minoritas, penyandang disabilitas, kelompok perempuan, dsb. Harapan saya, dengan konsep desa inklusif desa-desa di Indonesia serta di Jawa Tengah khususnya bisa membangun desanya dengan bersama-sama. Tidak ada lagi yang bicara soal perbedaan suku, agama, ras, bahkan kondisi fisik.” demikian ungkap Ganjar.

Penanggung Jawab  Satgas Desa Inklusif PP KAGAMA, Sandhya Yuddha, mengatakan pelatihan Bimtek bukan untuk mengajari, namun untuk menfasilitasi warga desa mengenali permasalahan untuk dipecahkan, sekaligus menggali potensi untuk dikembangkan. Warga desa yang menentukan peta jalan pembangunan di desanya. Karena tidak ada yang lebih tahu urusan desa selain warga desa sendiri.

Bimtek di Desa Dadapan, Tanggamus, Lampung, 23-24 November 2020

“Desa inklusif dikembangkan untuk memastikan semua warga adalah subyek pembangunan. Ruang-ruang partisipasi harus dibuka luas, termasuk melibatkan kelompok rentan dan marjinal terlibat aktif dalam pembangunan. Tak ada yang ditinggalkan. Kepada kelompok rentan dan marjinal, tak cukup hanya bertenggang rasa. Kita harus menunjukkan keberpihakan dan bela rasa. Mereka adalah bagian dari kita. Kita bagian dari mereka.” demikian ujar Sandhya.

Pelatihan Bimtek berlangsung selama 2 hari di semua desa. Hari pertama Bimtek fokus ke pengenalan konsep inklusi, mengenali faktor keterkucilan, dan bagaimana UU Desa membuka ruang untuk pembangunan yang lebih inklusif. Lalu pada hari kedua fokus ke analisa sosial dan pengorganisasian masyarakat.

Bimtek di Desa Pempatan, Karangasem, Bali, 1-2 Desember 2020

Agar peserta tidak bosan, Bimtek dilakukan secara interaktif, dengan menggunakan permainan-permainan, role play, dan diskusi kelompok. Dengan permainan dan role play tersebut peserta diajak berefleksi, mengapa dalam kehidupan masyarakat ada yang terus maju, aktif, berkembang, sukses, sementara ada sebagian yang lain yang terus di belakang, terpinggirkan, tidak terlihat, dan bahkan tidak terdata. Dalam diskusi kelompok peserta menyelami diri dan lingkungan sekitar, lalu mengidentifikasi kelompok mana saja yang selama ini masih termarjinalkan.

Masing-masing kelompok melakukan identifikasi berdasarkan observasi, wawancara dan diskusi lalu menuliskannya dalam kertas yang sudah disediakan. Di 13 desa yang diadakan Bimtek, hasilnya sangat beragam terhadap pengidentifikasian kelompok masyarakat marjinal. Namun secara umum hampir semuanya mengerucut pada kaum difabel fisik, difabel intelektual dan mental, perempuan kepala keluarga (janda) miskin, lansia sebatang kara, anak putus sekolah / berpendidikan rendah, orang dengan gangguan jiwa, dan kelompok minoritas keagamaan dan kepercayaan.

Bimtek di Desa Sintuvu, Sigi, Sulteng, 30 November – 1 Desember 2020

Setelah identifikasi kelompok marjinal, masing-masing kelompok mendiskusikan secara lebih mendalam apa permasalahan dan stigma yang dihadapi oleh masing-masing kelompok serta solusi apa yang dibutuhkan. Bimtek diakhiri dengan penyusunan Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL). Menurut rencana berdasar RKTL tersebut peserta Bimtek akan menyusun kegiatan, dan akan dikomunikasikan ke desa. Yang bisa dikolaborasikan dengan desa bagian mana saja, nanti mereka akan jalankan. Fungsi Kagama cabang mengawal kegiatan tersebut.

Bimtek di Desa Salamrejo, Kulon Progo, 7-8 Desember 2020

Dari dua hari pelatihan, hampir seluruh peserta di 13 desa mengakui Bimtek amat sangat bermanfaat bagi mereka. Pak Gino, salah satu peserta Bimtek Desa Pucung, Kec. Kismantoro, Wonogiri, yang memiliki satu anak difabel dan 3 adik difabel mengaku merasa sangat bersyukur. “Saya tidak menyangka diajak ikut pelatihan ini. Saya orang kecil tidak tahu apa-apa, tapi di pelatihan ini suara saya didengarkan. Semoga program ini tidak berhenti di sini.”

Suara hampir senada dikatakan oleh para peserta yang umumnya mempunyai keluarga atau saudara difabel. Mereka sangat berterima kasih atas pelatihan yang telah diberikan. Mereka mengakui mendapatkan sebuah pembelajaran yang selama ini tak pernah terbayangkan sebelumnya. Namun yang paling membuat mereka bangga sekaligus haru adalah karena merasa telah dimanusiakan.

*) Artikel ini publish di Rubrik Advertorial Kompas edisi cetak Kamis 10 Desember 2020

3 Comments

Komentar ditutup.